KELOMPOK ekonomi BRICS—yang kini beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, serta lima anggota baru sejak 2024—menggelar KTT tahunan di Rio de Janeiro pekan ini.
Namun untuk pertama kalinya sejak berdirinya forum ini pada 2009, Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak hadir secara langsung.
Absennya pemimpin dari kekuatan ekonomi terbesar di BRICS ini mengirimkan sinyal ambigu tentang masa depan kelompok yang selama ini dipandang sebagai simbol solidaritas Global Selatan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat dan tekanan ekonomi global,
Xi menunjuk Perdana Menteri Li Qiang untuk mewakili Tiongkok di Brasil.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin juga hanya hadir secara virtual, menghindari risiko penangkapan terkait surat perintah Pengadilan Kriminal Internasional.
Baca Juga:
Lindungi Dana Nasabah, BRI Patuhi Kebijakan Penghentian Rekening Dormant
Kisah Inspiratif Tommy Wavolta, Peternak Ponorogo, Manfaatkan KUR BRI dan Limbah Pangan
UMKM Kepulauan Sitaro Jadi Pemasok Program MBG Berkat Dukungan BRI
Dua kepala negara utama lain, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, hadir di Rio bersama Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, yang menghadiri KTT BRICS pertamanya.
Ketidakhadiran Xi dan Putin memunculkan pertanyaan kritis: apakah BRICS mampu tetap menjadi penyeimbang dominasi G7 dalam kondisi solidaritas internal yang rapuh?
Menguji Kohesi BRICS Saat Tekanan Perdagangan Amerika Serikat Meningkat Tajam
Sejak awal, BRICS dibentuk sebagai poros alternatif negara berkembang terhadap hegemoni G7.
Namun pada KTT kali ini, tekanan ekonomi eksternal dari Amerika Serikat menjadi ujian nyata bagi kelompok ini.
Baca Juga:
Akhmad Munir Usung PWI Bersatu dan Berdaya Saing di Era Digital
BRI Dorong UMKM Naik Kelas Lewat LinkUMKM, Platform Digital Pemberdayaan Usaha
Ekonomi 2025: Ketika Angka Pertumbuhan Tak Lagi Jadi Ukuran Keberhasilan
Presiden AS Donald Trump telah menetapkan tenggat waktu 9 Juli bagi sejumlah anggota BRICS untuk merundingkan ulang tarif ekspor mereka ke AS.
Kebijakan unilateralisme Trump memicu ketidakpastian perdagangan global dan mengancam ekspor anggota BRICS, yang sebagian besar masih sangat bergantung pada akses pasar Amerika.
Menurut analisis Brookings Institution, “Serangan tarif AS terhadap negara berkembang memaksa mereka menemukan strategi kolektif, tetapi BRICS belum menunjukkan kesiapan yang matang.”
Sementara Tiongkok menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan krisis sektor properti, Brasil masih sibuk memulihkan ekonomi pasca-pandemi.
Rusia bergulat dengan dampak isolasi akibat perang di Ukraina. India dan Indonesia sendiri masih sangat berhati-hati untuk tidak terlalu konfrontatif terhadap AS.
Sejauh ini, belum ada strategi koheren BRICS untuk menghadapi proteksionisme Trump.
Baca Juga:
Sinarmas Sekuritas dan Valbury Terseret Skema Korupsi Dana Pensiun Taspen
Laba BRI Tumbuh Bukan dari Korporasi, Tapi dari Warung dan Petani
KPK Cegat Skandal Energi: PPT ET Jadi Arena Korupsi Modal Patungan
Gagasan tentang “mata uang BRICS” sebagai instrumen untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, yang pernah diusulkan Presiden Brasil Lula da Silva tahun lalu, tampaknya tidak masuk agenda resmi.
“Kami fokus pada opsi pembayaran lintas batas untuk menekan biaya, bukan pada pembuatan mata uang baru,” kata Lula kepada wartawan di Brasilia pekan lalu.
Politik Internal dan Hambatan Hukum Melemahkan Kapasitas Kolektif BRICS
Selain faktor eksternal, dinamika internal dan hambatan hukum ikut memperlemah daya tawar kolektif BRICS.
Putin tidak berani menghadiri KTT secara langsung karena risiko penangkapan di Brasil, yang merupakan anggota Mahkamah Pidana Internasional.
Padahal, Rusia secara tradisional menjadi salah satu motor utama BRICS dalam menantang tatanan global berbasis Barat.
Absennya Xi juga mencerminkan dinamika internal Tiongkok yang sedang bergejolak.
Banyak pengamat menafsirkan keputusannya sebagai indikasi bahwa Beijing lebih memprioritaskan stabilisasi ekonomi domestik ketimbang diplomasi simbolik.
Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Brasil yang tidak disebutkan namanya menyebut kepada Reuters: “Ketidakhadiran Xi tentu membuat hasil KTT ini lebih sulit dicapai.”
Sementara itu, Indonesia dan sejumlah calon anggota baru BRICS seperti Arab Saudi, yang masih menunggu status keanggotaan penuh, membawa aspirasi dan kepentingan nasional yang beragam.
Keberagaman kepentingan ini kerap menyulitkan konsensus, seperti yang terlihat dalam debat panjang tentang perlu tidaknya memperluas keanggotaan tahun lalu.
“BRICS terlalu besar untuk diabaikan, tetapi terlalu beragam untuk efektif,” tulis seorang analis di Carnegie Endowment.
BRICS Masih Relevan, Tetapi Perlu Arah Strategis Baru di Era Multipolar
Meskipun mengalami tantangan internal dan eksternal, BRICS tetap relevan dalam lanskap global yang semakin multipolar.
Dengan penambahan anggota baru seperti Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan UEA, BRICS kini mewakili sekitar 45% populasi dunia dan hampir 30% PDB global.
Secara teoritis, potensi ekonomi kolektif ini cukup besar untuk menyeimbangkan dominasi G7.
Namun, tanpa arah strategis yang jelas, BRICS berisiko menjadi sekadar forum retorika politik tahunan.
Untuk benar-benar menjadi kekuatan penyeimbang yang kredibel, BRICS harus memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan internal, meningkatkan disiplin fiskal di antara anggotanya, dan memperkuat kerangka kerja untuk perdagangan intra-BRICS.
Dorongan untuk memperluas penggunaan sistem pembayaran lintas batas non-dolar adalah langkah kecil yang masuk akal.
Tetapi BRICS juga perlu merumuskan kebijakan industri dan perdagangan bersama yang lebih berani untuk menghadapi proteksionisme negara-negara maju.
Kebijakan ini harus dilandasi komitmen pada pasar bebas dan keterbukaan, bukannya terperangkap dalam retorika populis proteksionis yang merugikan kepentingan jangka panjang anggota.
Seperti disimpulkan dalam laporan Bank Dunia baru-baru ini, “BRICS memiliki potensi untuk memperkuat tatanan ekonomi berbasis aturan, tetapi hanya jika mampu menyelaraskan visi dan strategi masing-masing negara anggotanya.”***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infopeluang.com dan Ekonominews.com.
Simak juga berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Lingkarin.com dan Kontenberita.com.
Informasi nasional dari pers daerah dapat dimonitor langsumg dari portal berita Hallokaltim.com dan Apakabarbogor.com.
Untuk mengikuti perkembangan berita nasional, bisinis dan internasional dalam bahasa Inggris, silahkan simak portal berita Indo24hours.com dan 01post.com.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.
Kami juga melayani Jasa Siaran Pers atau publikasi press release di lebih dari 175an media, silahkan klik Persrilis.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di media mainstream (media arus utama) atau Tier Pertama, silahkan klik Publikasi Media Mainstream.
Indonesia Media Circle (IMC) juga melayani kebutuhan untuk bulk order publications (ribuan link publikasi press release) untuk manajemen reputasi: kampanye, pemulihan nama baik, atau kepentingan lainnya.
Untuk informasi, dapat menghubungi WhatsApp Center Pusat Siaran Pers Indonesia (PSPI): 085315557788, 087815557788.
Dapatkan beragam berita dan informasi terkini dari berbagai portal berita melalui saluran WhatsApp Sapulangit Media Center