Binsisnews – PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) menyiapkan agenda investasi besar pada 2026 guna memperkuat hilirisasi industri aluminium nasional. Investasi tersebut mencakup perluasan kapasitas produksi alumina dan aluminium, pembangunan fasilitas baru, serta penguatan pasokan energi berbasis pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang ramah lingkungan.
Langkah ini merupakan bagian dari mandat pemerintah untuk mempercepat hilirisasi mineral, mengurangi ketergantungan impor aluminium, serta memperkuat struktur industri nasional dari hulu hingga hilir.
Kepala Departemen Manajemen Komunikasi INALUM, Utrich Farzah, menegaskan bahwa INALUM merupakan industri manufaktur aluminium, bukan perusahaan pertambangan, sebagaimana masih kerap disalahpahami oleh publik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“INALUM bukan industri pertambangan. Kami adalah industri manufaktur aluminium. Operasi utama kami berada di Smelter Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, dengan dukungan energi dari PLTA milik sendiri,” ujar Utrich.
INALUM mengoperasikan PLTA Siguragura dan PLTA Tangga di kawasan Danau Toba, dengan total kapasitas sekitar 603 megawatt, yang seluruhnya digunakan untuk mendukung operasional smelter aluminium di Kuala Tanjung.
Sepanjang 2024, INALUM mencatatkan produksi aluminium sebesar 275 ribu ton per tahun. Pada 2025, perusahaan menargetkan peningkatan produksi menjadi 277 ribu ton, dengan peluang kembali mencetak rekor baru.
“Tahun lalu kami berhasil mencapai produksi tertinggi. Tahun ini kami optimistis bisa kembali memecahkan rekor. Masih ada waktu yang sangat berarti untuk mengejar target tersebut,” kata Utrich, dalam agenda media gathering di Jakarta Selasa (16/12).
Baca Juga:
Kelola Persediaan dan Stock Opname dengan Software Akuntansi Kledo
Aplikasi “Nihao China” Dilansir sebagai Solusi Terpadu bagi Wisatawan Internasional
Xinhua Silk Road: Hainan FTP Berkomitmen Terus Mengoptimalkan Iklim Usaha
Saat ini, aluminium produksi INALUM digunakan untuk berbagai kebutuhan strategis, mulai dari industri kendaraan, konstruksi, kabel listrik, kemasan makanan, hingga komponen kendaraan listrik dan perangkat elektronik.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Grup Pengembangan Bisnis dan Strategi INALUM, Al Jufri, menjelaskan bahwa investasi INALUM ke depan difokuskan pada penguatan rantai pasok aluminium dari hulu hingga hilir.
“Indonesia memiliki tiga komoditas mineral utama, yakni nikel, timah, dan bauksit. Untuk aluminium, INALUM mendapat mandat mendorong hilirisasi penuh dari bauksit menjadi alumina, hingga aluminium,” ujar Al Jufri.
INALUM bersama anak usahanya, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), telah mengoperasikan refinery alumina fase pertama di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Fasilitas ini mulai berproduksi pada 2025 dengan kapasitas sekitar 1 juta ton alumina per tahun.
Baca Juga:
Ulang Tahun ke-9, JULO Telah Salurkan 27 Triliun untuk Modal Usaha hingga Pendidikan
Vantage Raih Dua Nominasi di Vietnam dan Inggris dalam Ajang Finance Magnates Awards 2025
“Alumina dari BAI sudah mulai digunakan untuk memasok kebutuhan smelter INALUM di Kuala Tanjung. Ini menjadi tonggak penting karena secara bertahap kami mengurangi impor alumina,” jelasnya.
Sebelumnya, Indonesia mengekspor bauksit mentah dengan harga sekitar USD 40 per ton, namun mengimpor alumina dengan harga mencapai USD 400 per ton. Dengan hadirnya refinery domestik, nilai tambah kini sepenuhnya dinikmati di dalam negeri.
INALUM juga menyiapkan fase kedua refinery alumina dengan tambahan kapasitas 1 juta ton per tahun, sehingga total kapasitas mencapai 2 juta ton per tahun. Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi secara bertahap pada 2028.
Selain itu, INALUM merencanakan pembangunan smelter aluminium baru berkapasitas 600 ribu ton per tahun, yang akan menjadi penopang utama peningkatan produksi aluminium nasional dalam beberapa tahun ke depan.
“Saat ini sekitar 54 persen kebutuhan aluminium nasional masih dipenuhi dari impor. Dengan ekspansi smelter dan refinery, kami menargetkan porsi impor dapat ditekan signifikan,” ujar Al Jufri.
Harga aluminium global saat ini berada di kisaran USD 2.900 per ton, jauh lebih tinggi dibandingkan harga bauksit dan alumina, sehingga penguatan hilirisasi dinilai sangat strategis bagi perekonomian nasional.
Kehadiran refinery alumina di Kalimantan Barat telah memberikan dampak ekonomi yang luas bagi daerah. Kabupaten Mempawah, lokasi berdirinya BAI, tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seiring beroperasinya proyek hilirisasi tersebut.
“Efek ekonomi dari refinery alumina tidak hanya dua atau tiga lapis, tetapi bisa mencapai lebih dari sepuluh lapis. Mulai dari tenaga kerja, kontraktor lokal, UMKM, hingga peningkatan pendapatan daerah,” kata Al Jufri.
Proyek ini juga menyerap ribuan tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di sekitar kawasan industri.
INALUM berdiri pada 1976 sebagai perusahaan patungan Indonesia–Jepang, sebelum sepenuhnya menjadi milik Indonesia pada 2013 dan berstatus BUMN. Pada 2017, INALUM ditunjuk sebagai holding industri pertambangan, sebelum akhirnya bergabung sebagai anggota Holding MIND ID pada 2023.
“Saat ini INALUM fokus sebagai operator industri aluminium nasional di bawah MIND ID, bersama Antam, Bukit Asam, Timah, Vale Indonesia, dan Freeport Indonesia,” jelas Utrich.
Selain investasi bisnis, INALUM juga menegaskan komitmen kuat terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Operasi smelter INALUM sepenuhnya ditopang oleh energi terbarukan dari PLTA, sementara berbagai program konservasi dan pemberdayaan masyarakat terus dijalankan di kawasan Danau Toba dan sekitarnya.
“Investasi dan pertumbuhan harus berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” Utrich menambahkan.
Dengan strategi investasi jangka panjang ini, INALUM menargetkan menjadi tulang punggung industri aluminium nasional sekaligus pemain penting dalam rantai pasok aluminium global.***
















