BISNISNEWS.COM – Pemerintah dan Pertamina jika fokus ke masalah Bahan Bakar Minyak (BBM) Solar saja dalam dua tahun ke depan.
Maka mungkin separuh masalah emisi di Pertamina selesai terkait emisi CO2.
Bayangkanlah BBM solar ini setiap 1 liternya sama dengan 2,4 kg karbon. Itu beban yang sangat besar sekali di masa depan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara di dalam solar berbagai masalah bertumpuk dan sampai sekarang tidak ada kemajuan untuk mengatasi atau menyelesaikan. Apa itu masalah di dalam bahan bakar solar :
1. Subsidi yang sangat besar dan terus meningkat setiap tahun tidak mengenal kata berkurang.
Dunia akan bertanya mengapa indonesia mensubsidi bahan bakar kotor begitu besar.
2. Solar ini kuotanya selalu jebol, tidak pernah dapat diperkirakan dengan benar.
Baca Juga:
Kelola Persediaan dan Stock Opname dengan Software Akuntansi Kledo
Aplikasi “Nihao China” Dilansir sebagai Solusi Terpadu bagi Wisatawan Internasional
Xinhua Silk Road: Hainan FTP Berkomitmen Terus Mengoptimalkan Iklim Usaha
Dunia bertanya mengapa indonesia merencanakan penggunaan bahan bakar kotor saja jebol.
3. Mafia solar merajalela
Maka dunia bertanya bagaimana bisa bahan bakar kotor diperdagangkan secara kotor melibatkan aparat kotor begitu besar di negara ini.
4. Konsumsi solar yang meningkat setiap tahun.
Baca Juga:
Ulang Tahun ke-9, JULO Telah Salurkan 27 Triliun untuk Modal Usaha hingga Pendidikan
Vantage Raih Dua Nominasi di Vietnam dan Inggris dalam Ajang Finance Magnates Awards 2025
Dunia bertanya mana komitmen indonesia mengurangi konsumsi solar bahan bakar kotor setiap tahunnya. Paling tidak setahun mengurangi seliter saja, kok gak bisa?
5. Solar digunakan untuk pertambangan batubara dan sawit.
Ini lebih gila lagi, bahan bakar kotor digunakan oleh pebisnis yang merupakan pelaku utama pengrusakan hutan Indoneia.
Sudah kotor bahan bakarnya, hutan dirusaknya dengan bahan bakar itu.
Jadi bandit solar Indonesia benar benar merusak nama baik Presiden Jokowi di G20 yang diberi mandat memimpin dunia melakukan transisi energi.
Sementara Presiden Jokowi mengurangi konsumsi solar seliter saja di dalam negeri tidak bisa?
Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia).***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Bisnisnews.com, semoga bermanfaat.














