BISNISNEWS.COM – Sebab musabab awal yang menjadi pemicu persoalan ekonomi beberapa tahun terakhir ini tidak lain adalah Covid-19, yang melanda seluiruh dunia termasuk Indonesia.
Dampaknya tidak hanya bersifat negatif tetapi mengubah secara total dan mendasar struktur dan sifat perekonomian global dan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi dunia lalu anjok berat menjadi negatif -3,1 persen karena disrupsi sisi permintaan dan supplainya.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Intip Strategi BRI Turunkan Rasio Kredit Bermasalah, Kualitas Aset Semakin Baik
Inovasi ASUS ZenBook Terbaru: Laptop Tipis dengan Fitur Lengkap untuk Semua Kebutuhan Anda
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah pandemi covid-19 selesai, semua berharap langsung terjadi recovery ekonomi, tetapi itu tidak terjadfi karena ekonomi global langsung dihantam perang yang meluas di Eropa dan Rusia.
Kondisi geopolitik yang keras ini memperparah ketidakpastian ekonomi global dan berakibat pada kelangkaan pangan dan energi.
Akibatnya, harga pangan dan energi meningkat tinggi dan menyebabkan tingkat inflasi di banyak negara meningkat pesat.
Baca Juga:
Terus Berinovasi Tingkatkan Layanan Perbankan, Bank Kustodian BRI Tawarkan Multi-share Class
Perkuat Kolaborasi bagi Pertumbuhan Perbankan Nasional, BRI Gelar Acara Treasury Banking Summit
Ekonomi global sudah diubah prediksinya berkali-kali dan tahun 2022 ini diperkirakan hanya tumbuh 3,2 persen dan inflasi tinggi sekitar 8,8 persen (IMF, 2022).
Pertanyaannya, darimana channeling Indonesia untuk menyiasati dampak ekonomi global saat ini?
Seharusnya channel berasal dari nilai tukar, inflasi, dan bagaimana konsolidasi yang diperlukan dengan evalusi terhadap perekonomian domestik.
Indonesia cenderung menerapkan kebijakan moneter ketat, sehingga berdampak pada sektor riil.
Baca Juga:
Enam Bank Asing Berikan Fasilitas Pinjaman Ke Bank BNI Sebesar USD 600 Juta
BRI Imbau Masyarakat Tidak Terkecoh Modus Penipuan Perbankan, Marak Tagihan Pajak Berekstensi APK
Sektor riil di Amerika Serikat juga mengalami perlambatan pertumbuhan
Secara global jika ada pengetatan moneter maka hal tersebut akan menyebabkan perlambatan ekonomi.
Di kawasan Asia Pasifik, kesempatan kerja turun 3,2 persen (yoy) atau sekitar 61.8 juta orang yang kehilangan pekerjaan.
Level kesempatan kerja di kawan ini sekitar 1,8 milyar orang (2020). Pengangguran di negara-negara G20 juga cukup tinggi rata-rata 8,5 persen di tahun 2020, lebih tinggi dari tahunh sebelumnya 7,2 persen.
Pada tahun 2021, pengangguran di negara-negara ini sekitar 7,9 persen dan diperkirakan akan meurun tahun 2022 sekitar 6,97 persen.
Sedangkan di Indonesia, sekitar 29, 1 juta orang terkena dampak dari covid-19 atau sekitar 14,3 persen dari total populasi angkatan kerja (2020).
Dampak ini berpengaruh pada tahun berikutnya 2021 dan 2022.
Kebijakan the Fed meningkatkan suku bunga acuan dengan melakukan kebijakan quantitative easing (suku bunga rendah) untuk menjaga pertumbuhan dan tingkat pengangguran yang rendah.
Kondisi perekonomian AS mengalami masalah cukup berat, Inflasi tinggi (8.5% in March 2022), dan pengangguran yang dapat dikendalikan pasca pandemi (3.6% April 2022).
Keputusan the Fed menaikkan suku bunga acuan dilakukan secara beuntuh di bulan Maret dan April. Pada bulan Nov ’22 berada pada level 3.78.
Ketika AS menaikan sukubunga akan berdampak pada perekonomian Indoesia terutama dari sisi nilai tukar, inflasi yang tinggi karena kenaikan harga pangan dan energi.
Sektor riil mendapat beban besar dari harga impor include bahan impor akibat kenaikan nilai tukar. Dibutuhkan penguatan dari sisi fiskal di Indonesia.
Salah satu risiko besar yang menjadi ancaman stabilitas ekonomi global adalah krisis energi akibat tren peningkatan harga komoditas energi dunia.
Harga Minyak Mentah dan Gas Alam meningkat lebih tinggi dibandingkan level awal tahun 2022
Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pada Q3 dan Q4 berada pada level 5.45% dan 5.72% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi 2022 menurut pengeluaran didorong oleh Ekspor dan Konsumsi RT.
Tetapi pengeluaran pemerintah mengalami pertumbuhan negative (yoy) pada Q2 dan Q3 2022
Menurut lapangan usaha, kinerja sektoral mengalami pertumbuhan pada Q2 dan Q3 2022
Terutama pada sektor transportasi & pergudangan, akomodasi, makanan & minuman, industri pengolahan, informasi dan komunikasi
Sedangkan tingkat inflasi masih bisa dikendalikan meskipun lebih tinggi pada tahun 2022, dibandingkan tahun 2021.
Pada sisi penawaran, terjadi kenaikan harga-harga komoditas dunia dan juga ada gangguan pasokan global dan domestik.
Penyumbang utama inflasi tahunan: komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga,dan tarif angkutan udara.
Pada November 2022, penyumbang utama inflasi bulanan di antaranya adalah komoditas telur ayam ras, rokok kretek filter, dan tomat
Tren penurunan Global Purchasing Managers’ Index (PMI): indikasi perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia.
Pada Oktober 2022, global PMI Manufaktur mencapai 49,4 (dari 49,8 di September).
Penurunan output didominasi pada sektor barang setengah jadi. Hal in menunjukkan optimisme bisnis turun mendekati level terendah dalam dua setengah tahun terakhir.
Melemahnya permintaan global menjadi tantangan bagi kinerja industri dan investasi di dalam negeri.
Inflasi vang tinggi juga menjadi ancaman pada peningkatan biaya produksi.
Pertumbuhan investasi tidak disertai dengan laju pertumbuhan industri pengolahan yang juga tinggi.
Seperti pada triwulan III 2022,
pertumbuhan investasi mampu mencapai 42,1 persen (y-o-y) namun industri pengolahan (non migas) hanya tumbuh 4,88
persen dan masi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Usaha mengarahkan investasi agar semakin banyak masuk ke sektor manufaktur menjadi tantangan besar bagi proses industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam strategis.
Pada saat ini visi besar Pemerintah adalah untuk mewujudkan transformasi ekonomi dengan penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi industri.
Terdapat tantangan cukup besar dari sektor industri untuk menjadi pusat pertumbuhan kembali.
Sektor yang tertekan dampak ekonomi global dan menyebabkan menurunnya optimisme bisnis.
Pada 2021 – 2022 porsi sektor manufaktur menjadi penyumbang bagi PDB menurun menjadi hanya 20% an saja, padahal sebelum pandemi bisa mendekati 30%.
Tantangan sektor riil saat ini bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bisa memberi nilai tambah untuk mencapai target 2045.
Perlu didorong investasi dalam dan luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sektor riil.
Seharusnya semakin banyak investasi masuk, akan semakin menambah nilai tambah lebih besar bagi sektor manufaktur dan akhirnya menaikkan kontribusi ke PDB.
Pada Undang Undang No 17 Tahun 2003, yaitu defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto.
Dengan mengembalikan aturan ini, maka Pemerintah dapat menekan angka rasio utang pemerintah terhadap PDB, karena penarikan utang Pemerintah tidak sebesar ketika pandemi berlangsung.
Oleh: Eisha M Rachbini SE, M.Sc. Ph.D, Dosen Institute Pertanian Bogor (IPB)
Dìsarikan dari Seminar Universitas Paramadina “Evaluasi Ekonomi Akhir Tahun”, Selasa (20/12/2022).***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Bisnisnews.com, semoga bermanfaat.