BISNIS NEWS – Di saat bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite agak langka di berbagai SPBU akibat jebolnya kuota subsidi dan Pertamina tidak mau rugi, di saat bersamaan tampaknya Pemerintah akhirnya terpaksa ‘lempar handuk’.
Pemerintah akhirnya akan memilih menaikan harga beberapa jenis BBM dan LPG 3 kg dengan tujuan mengurangi beban subsidi energi yang saat ini sudah jumlah totalnya sudah mencapai Rp 502 triliun.
“Itu pilihan sangat sulit dari beberapa pilihan sulit yang ada, meskipun dampaknya akan luar bisa menaikan harga-harga barang di saat lemahnya daya beli rakyat akibat pandemi Covid19 adalah suatu keniscayaan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena kantong Pemerintah memang lagi bokek, apa boleh buat,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Minggu, 14 Agustus 2022.
Sehingga program digitalisasi 5518 SPBU seluruh Indonesia bernilai Rp 3,6 triliun oleh PT Telkom patut dipertanyakan efektifitasnya yang awalnya digagas bisa mengendalikan penggunaan BBM subsidi tepat sasaran.
Terbukti tidak berfungsi, bahkan Kepala BPH Migas Fansurullah Asa saat itu pernah bersurat resmi ke KPK untuk diaudit tehnologinya, namun tidak ada realisasinya entah apa alasannya, kata Yusri.
Indikasi lainnya, menurut Yusri, semakin nyata setelah Presiden Jokowi mengungkapkan untuk kelima kalinya bahwa tidak ada negara yang mampu mensubsidi sebesar itu.
Apalagi dalam kondisi global saat ada ancaman krisis energi dan krisis pangan serta krisis keuangan akibat dampak perang Rusia dengan Ukraina.
Hal itu tegas diucapkan kembali oleh Presiden Jokowi di hadapan semua Pimpinan Lembaga Tinggi Negara yang diundang ke Istana Presiden pada Jumat (12/8/2022).
Hadir di antaranya Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Makamah Konstitusi, Ketua Makamah Agung, Ketua BPK dan Ketua Komisi Yudisial.
“Anehnya lagi, yang mengumumkan rencana kenaikan BBM ini bukannya Menteri ESDM, tetapi Menteri Investasi BKPM Bahlil yang bukan tupoksinya, atau memang sudah tukar posisi?,” heran Yusri.
Pasalnya, kata Yusri, Bahlil mengucapkan itu kepada media pada Jumat (12/8/2022), bahwa jika harga minyak dunia di atas USD 100 per barel dan Pemerintah tetap menahan harga jual BBM Pertamina, maka subsidi Pemerintah bisa mencapai Rp 600 Triliun, karena asumsi di APBN hanya USD 63 perbarel dengan nilai tukar rupiah 14.750 perdolar.
Sebelumnya, lanjut Yusri, Presiden Jokowi juga sudah pernah menyampaikan hal itu di hadapan forum silahturami PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) di Sentul Jawa Barat pada hari Jumat (5/8/2022).
Jokowi mengatakan, subsidi tersebut ditujukan untuk beberapa jenis barang. Antara lain LPG 3 kg dan tarif listrik dengan kapasitas di bawah 3.000 VA, serta Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite yang kini dijual Rp 7.650.
“Kita patut bersyukur Alhamdulillah kalo bensin di negara lain BBM harganya sudah Rp 32 ribu, Rp 31 ribu, di Indonesia pertalite masih Rp 7.650,” kata Jokowi.
Terkait hal itu, Yusri berpendapat agak kurang tepat jika Presiden Jokowi membandingkan harga BBM kita dengan negara lain yang menjual Rp 31 ribu perliter itu.
“Sebab, tidak sepadan atau tidak ‘apple to apple’, atau jangan-jangan presiden dibisikan yang salah oleh pembisiknya,” kata Yusri.
Takutnya, pembantu pembantu Presiden ini punya agenda masing masing untuk 2024, sehingga bisa terjadi sebelumnya telah memberikan masukan yang menyesatkan bagi Presiden, ini yang harus diwaspadai.
Begitu juga soal kesulitan PLN dalam memenuhi kebutuhan batubara sebagai energi primernya, hampir 60 % dari seluruh pembangkit listrik PLN menggunakan batubara.
Ini akibat perubahan UU Minerba nomor 3 tahun 2020, hilang kesempantan BUMN Tambang dan anak usaha PLN bisa menguasai 7 tambang raksasa PKP2B milik taipan batubara yang sudah berakhir kontraknya.
Akibatnya PLN terjebak mengemis pasokan batubara berupa kewajiban DMO (Domestic Market Obligation), harus diusut siapa pembisik Presiden sehingga mau menyetujui perubahan UU Minerba itu?, geram Yusri.
Cilakanya lagi, lanjut Yusri, ada komentar Menteri BUMN Erick Thohir bahwa tidak tepat membandingkan harga BBM Pertamina dengan Malaysia.
“Jadi Erick mau dibandingkan dengan negara mana? Sebutkan dong dengan negara mana tepatnya dibandingkan, bukan asal membantah,” tanya Yusri penuh heran.
“Apa Erick Thohir lupa bahwa janji kampanye Jokowi sebelum terpilih jadi presiden pada 2014, bahwa jelas dikatakan bahwa jika terpilih jadi Presiden”
“Jokowi akan membesarkan Pertamina mengalahkan Petronas, nah janji itulah yang ditunggu realisasinya oleh publik,” kata Yusri.
Jadi, tegas Yusri, membandingkan harga BBM Indonesia dengan Malaysia, jauh lebih tepat dari negara lainnya, karena karakteristiknya hampir sama-sama sebagai net importir juga.
“Hanya kita angka import sudah mencapai sekitar 60% dari total komsumsi nasional yang katanya hari ini sudah mencapai 1,5 juta barel perhari, tetapi kalau Malaysia hanya sekitar 20% importnya,” kata Yusri.
Selain itu, sambung Yusri, beda pola distribusi Pertamina memang jauh lebih rumit dari pada Malaysia, karena negara kepulauan, pola distribusi paling rumit di dunia tidak bisa dibantah.
“Jadi soal beban biaya distribusi saja yang berbeda, beban itupun selisihnya tidak terlalu signifikan terhadap harga keekonomian BBM.”
“Yang signifikan adalah harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah serta biaya pengolahaan di kilang” ungkap Yusri.
Seharusnya, ulas Yusri, dicari akar masalah apa penyebab harga keekonomian BBM Pertamina jauh lebih tinggi dibandingkan harga BBM Malaysia.***