BISNIS NEWS – Setelah menerima penghargaan sebagai Tokoh Ketahanan Energi, Nicke Widyawati selaku Direktur Utama Pertamina tentu tidak dapat berpuas diri.
Karena di depan mata ada tantangan yang lebih besar yakni bagaimana berselancar dalam gombang yang cukup dahsyat yakni transisi energi.
Tantangan ini telah dihadapi Pertamina, dan ada dalam tubuh Pertamina sekarang.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Kementan akan Bagikan Benih Gratis untuk Para Petani yang Lakukan Percepatan Tanam di Oktober 2024
Kick Off Semarak HUT 129 BRI di Kantor Pusat Jakarta, Usung Tema Brilian dan Cemerlang
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbagai regulasi baik yang mengikat seperti UU ratifikasi perubahan iklim maupun yang sifatnya belum mengingat seperti kebijakan perbankan dan sektor keuangan internasional segara akan menjadi tantangan serius bagi Pertamina.
Pelajaran paling berharga dapat dipetik dari masalah yang dihadapi perusahaan migas dalam setengah dekade terakhir.
Banyak perusahaan migas multi nasional terpaksa harus mengambil langkah langkah yang tidak populer dalam menghadapi maslaha yang dihadapi.
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Pastikan Ketersediaan Pupuk Aman, Dorong Petani Tanam di Bulan Oktober 2024
BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah, Jaga Aspek Keberlanjutan Lingkungan Event MotoGP Mandalika
Layanan Wealth Management BRI Peroleh Pengakuan Kelas Dunia Sebagai Best Private Bank for HNWIs
Banyak diantara perusahaan migas meninggallkan ladang ladang minyak di negara negara berkembang.
Karena komitmen negaranya terhadap perjanjian terhadap perjanjian iklim, penurunan emisi, pajak karbon dan tekanan keuangan lainnya.
Tidak sedikit juga diantara mereka yang terpaksa memangkas belanja dalam jumlah yang sangat significant, menahan proyek proyek fosil mereka dan bahkan memPHK karyawannya.
Perusahaan migas besar telah mengambil langkah langkah penting untuk mengembangkan energi non fosil
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Minta Jajaran Kementan Maksimalkan Pelayanan Terhadap Petani dengan Sepenuh Hati
Pisang Sale Mades Makin Berkembang lewat Pemberdayaan BRI, Mengolah Produk Kearifan Lokal
Agar tetap mendapatkan insentif keuangan dan perpajakan yang telah menjadi kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka.
Namun walaupun telah sedemikian banyak usaha mereka untuk transisi energi namun tidak banyak yang akan bisa selamat di masa mendatang.
Dalam suatu pertemuan dengan praktisi dan pelaku bisnis migas mengemuka proyeksi tentang masa depan industri migas. Berapa lama.
Mereka semua bisa bertahan? ada pandangan bahwa 30 tahun usia yang terlalu cepat untuk perusahaan migas namun 80 tahun adalah usia yang terlalu lama.
Itulah mengapa negara negara maju seperti Eropa telah mengambil posisi 2050 atau 30 tahun lagi paling lama akan bertahan di fosil. Negara negara berkembang mengambil posisi 2060.
Apakah itu waktu yang lama? Tentu saja tidak ini adalah langkah yang day to day haruslah makin konkrit dan detail.
Bagaimana Pertamina?
Indonesia adalah pioner dalam industri migas, dari sini salah satunya usaha penggalian minyak dimulai di dunia.
Pertamina adalah tulang punggung ekonomi Indoensia selama berpuluh puluh tahun bahkan sampai dengan saat ini, walau dengan ukuran yang relatif makin berkurang.
Di masa lampau Pertamina adalah salah satu perusahaan terbesar di Asia, diluar perusahaan perusahan Jepang.
Memiliki aset yang tersebar luas di seluruh dunia, di London, Newyork dan Tokyo.
Sebelum kejatuhan besar besaran indonesia pada krisis 1998 Pertamina masih merupakan perusahan besar di Asia.
Krisis 98 yang dipicu oleh krisis perbankan dan keuangan merobohkan sendi sendi ekonomi Indonesia termasuk juga migas.
Pertamina kembali merangkak, memastikan kebutuhan energi minyak nasional terpenuhi.
Pertamina harus berbagi dengan kontraktor kontraktor swasta asing dalam memguasai ladang ladang migas Indoensia.
Namun semua yang dimiliki sekarang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Sejak covid 19, lalu diikuti dengan transisi energi banyak perusahaan migas yang pergi karena tidak sanggup menanggung beban operasi mereka, dan kontrak yang jatuh tempo.
Ladang minyak asing dan aset asetnya dibeli oleh Pertamina sebagai cara menjaga pasokan minyak nasional agar tidak terganggu namun semua masih kurang, beluk cukup memenuhi kebutuhan minyak nasional.
Apakah karena kebutuhan kita sangat besar? Tentu saja tidak. Indonesia adalah negara konsumen minyak perkapita yang relatif kecil di dunia.
Tapi kemampuan ladang ladang minyak nasional menghasilkan minyak tetap tidak cukup.
Langkah ke Depan
Bagi Pertamina tugas utama dari negara adalah bagaimana menjaga pasokan minyak nasional dengan harga yang diatur oleh pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Baik melalui regulasi maupun melalui tekanan politik. Aturan pemerintah tidak selalu menguntungkan Pertamina, bahkan lebih banyak merugikan perusahan migas ini.
Untuk menjaga pasokan maka Pertamina harus tetap punya uang, memastikan belanja mereka untuk mencari ladang ladang minyak baru, memastikan rantai pasok tidak terputus.
Juga memastikan rantau nilai tidak tersumbat, memastikan pemerintah tetap konsisten membayar sunsidi dan kompensasi.
Semua karena memang Pertamina memerlukan uang untuk menjaga ketahanan energi.
Transisi energi, keuangang dan ketahanan energi adalah kalimat sakti yang menakutkan saat ini.
Sulit sekali mendapatkan uang jika tidak menjalankan transisi energi, sulit sekali memastikan ketahanan energi kalau tidak ada uang. Tepatnya bukan sulit lagi tapi tidak akan bisa!
Maka di sini lah sang nakhoda berselancar, gelombang ini besar, maka semua harus dicek, kekuatan perahu, dimana harus bersandar pada saat darurat, bendera apa yang harus dikibarkan dalam kancah internasional.
Nakhoda butuh bendera transisi energi yang besar untuk dikibarkan. Apakah Pertamina memiliki bendera itu? Banyak jika sesekali memyelami dasar lautan.
Sekarang Indonesia adalah climate change super power. Super power baru, paradigma baru, dan salah satu perahu besarnya untuk mengangkat ini adalah Pertamina.
Selamat atas penghargaan tokoh ketahanan energi kepada Direktur Utama Pertamina Ibu Nicke Widyawati. Semoga Pertamina terus berjaya.
Opini: Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Bisnisnews.com, semoga bermanfaat.