BISNIS NEWS – Pilihan kita adalah demokrasi yang diformulasi dengan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”.
Kedaulatan di tangan rakyat yang melalui proses politik memilih wakil-wakil rakyat. Lawan dari demokrasi adalah otokrasi atau oligarki.
Keduanya menyebabkan rakyat teralienasi atau terjajah. Oligarki adalah kolonialisme atau sistem penjajahan baru.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oligarki artinya kekuasaan ada pada kelompok tertentu. Kecil tetapi menentukan. Kelompok itu bisa kumpulan dari ketua partai koalisi yang berkuasa.
Bisa juga para pengusaha yang mengatur pengelolaan negara dengan kekuatan modal atau uang.
Mereka menjadi bandar untuk operasi politik, hukum, ekonomi dan juga perusakan agama. Kepala Pemerintahan berada di bawah kendalinya.
Baca Juga:
Berawal dari Karyawan Minimarket, Toko Ini Berkembang Pesat Berkat Kemitraan dengan AgenBRILink
Nasabah Prioritas Capai 161 Ribu, Kelolaan Aset Wealth Management BRI Tumbuh 23,05%
KPK akan Terbitkan DPO Jika Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor Bersikap Tak Kooperatif
Demokrasi Indonesia kini berada dalam posisi menyimpang. Apabila formalnya masih ditempelkan label demokrasi, maka itu adalah Demokrasi Terpimpin.
Jika di masa Orde Lama kekuasaan tersentralisasi pada seorang Presiden, maka kini keterpimpinan itu berada pada sekelompok orang berkuasa yang bernama Oligarki.
Ciri penjajah sekurangnya ada lima, yaitu :
Pertama, menguasai elemen pemaksa seperti tentara dan polisi, mengendalikan semau dan sekehendak pengambil kebijakan. Aparat yang tegak lurus dengan Pemerintah.
Baca Juga:
Alexandra Askandar: Pionir ESG dalam Dunia Perbankan Indonesia
Dirut BRI Sunarso Dinobatkan Sebagai Best CEO, BRI Raih 3 Penghargaan dalam TOP BUMN Awards 2024
Kedua, hukum menjadi alat represi untuk membungkam rakyat. Keadilan diinterpretasi sekedar melindungi kelompok penguasa atau establishment. Hukum menjadi kepanjangan tangan politik.
Ketiga, eksploitasi habis-habisan sumber daya alam milik bangsa. Tanah, air, hutan dan tambang dikuasai oleh segelintir penguasa politik yang berkolusi dengan pebisnis. Rakyat diposisikan sebagai budak pekerja yang tetap miskin.
Keempat, harga barang pokok dibuat melambung tinggi sementara pajak-pajak diperberat, hal ini dimaksudkan agar tetap ada ketidak berdayaan permanen dan ketergantungan pada belas kasih sang penjajah.
Kelima, pejuang kritis diberi label pemberontak, ekstremis, radikalis, atau penjahat pengganggu stabilitas.
Pejuang kemerdekaan harus ditempatkan sebagai penghianat dan dianggap pembuat teror bagi masyarakat. Penjajah menciptakan musuh palsu.
Negara oligarki adalah negara kolonial. Jika ada seruan untuk melawan dan menghancurkan oligarki maka itu tiada lain adalah seruan untuk memerdekakan negeri.
Merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Kolaborasi penguasa pribumi dengan pengusaha yang berwarna kulit dan bermata berbeda dengan pribumi. Musuh demokrasi.
Uang dan modal mampu mengendalikan senjata dan birokrasi. Rakyat terus dikencingi oleh penjajah oligarki.
Tukang peras itu selalu berpura-pura lugu atau bermanis muka agar dapat terus menipu dan menguasai.
Gelorakan kembali pekik perjuangan: Hancurkan oligarki, mereka adalah penjajah negeri. Merdeka atau Mati!
Opini: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.***