BISNIS NEWS – Survey Bloomberg memasukkan Indonesia dalam urutan 14 dari 15 negara yang rentan alami resesi ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kita tahan resesi tidak akan seperti Srilanka.
Itulah narasi yang dilakukan oleh pihakm eksekutif karena merekalah yang meramu kebijakan ekonomi, dan mereka juga yang mengklaim hasilnya.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Nasabah Prioritas Capai 161 Ribu, Kelolaan Aset Wealth Management BRI Tumbuh 23,05%
KPK akan Terbitkan DPO Jika Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor Bersikap Tak Kooperatif
Alexandra Askandar: Pionir ESG dalam Dunia Perbankan Indonesia
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan tentunya itu tidak fair, karena yang meramu kebijakan tentunya akan selalu mengatakan bahwa apapun yang mereka ramu pasti yang terbaik.
Sri Mulyani mengatakan bahwa beberapa Indikator yang membantah bahwa Indonesia akan mengalami resesi seperti Srilanka. Resiko Indonesia hanya 3% dan Indonesia negara yang cukup kuat.
Tapi itu adalah half truth (separuh kebenaran) karena kenyataannya dalam ekoomi itu tidak ada yang bisa mengklaim bahwa dia 100 persen benar.
Baca Juga:
Dirut BRI Sunarso Dinobatkan Sebagai Best CEO, BRI Raih 3 Penghargaan dalam TOP BUMN Awards 2024
Jokowi Langsung Pulang ke Solo Usai Prabowo Subianto Dilantik Jadi Presiden RI Periode 2024 – 2029
Kita harus melihat data-data yang kredibel. Indonesia mempunyai trajektori yang sama seperti Srilanka.
Srilanka mempunyai banyak pengeluaran, berani berutang untuk membiayai APBN dan pembangunan.
Tapi melupakan pendapatan/penerimaan negara. Bahkan kesalahan fatalnya adalah memangkas rate pajak dari 10% menjadi 8%.
Indonesia untuk beberapa extens Indonesia mempunyai trajektori yang sama.
Baca Juga:
Pemberdayaan BRI Tingkatkan Skala Usaha Klaster Usaha Rumput Laut Semaya di Nusa Penida, Bali
Pihak Istana Tanggapi Gugatan Perdata yang Dilayangkan oleh Rizieq Shihab kepada Presiden Jokowi
Minergi Media Luncurkan Portal Tambangpost.com Dukung Dukung Hilirisasi Tambang dan Ketahanan Energi
Diantaranya adalah dari Perkembangan Tax Ratio terhadap PDB mengalami penurunan secara terus menerus dari tahun 2011 dimana Indonesia berada di double digit 11,16%.
Dan turun terus hingga single digit di tahun ini di kisaran 9,30%. Dan ini adalah tax ratio terendah diantara negara-negara ASEAN.
Artinya kita perlu waspadai bagaimana tax ratio ini akan mempersempit ruang gerak Indonesia untuk membayar utang yang akhirnya menambah kerentanan Indonesia sebagai negara.
Artinya Indonesia melakukan trajektori yang sama seprti halnya Srilanka.
Dan hanya Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang tax ratio terhadap PDB-nya hanya single digit.
Artinya penerimaan negara lebih rendah dari negara lain sementara di antara negara ASEAN, Indonesia yang jor-joran melakukan projek pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Salah satunya pembangunan IKN, apalagi dilakukan di tahun-tahun pasca pandemi covid yang masih harus recovery.
Penerimaan negara itu harusnya dikumpulkan dari produktivitas Industrialisasinya dan Indonesia punya kerentanan yang jarang dibicarakan orang.
Indonesia sedang mengalami apa yang disebut deindustrialisasi yaitu peran manufaktur kepada PDB terus mengalami penurunan.
Dari sumber BPS tentang peranan manufaktur terhadap PDB yang terus turun.
Tahun 2001 Indonesia berada di 29%, jauh sekali dari zaman orde baru sehingga dulu disebut bahwa Indonesia sebagai Macan Asia.
Artinya Indonesia mengalami deindustrialisasi, jika Indonesia ingin menjadi negara yang kuat harusnya angka ini yang diperbesar.
Indonesia harus sangat ekstra waspada manakala Srilanka ini bisa terjadi pada Indonesia.
Bisa dilihat dari Debt Service Ratio (DSR), Total Debt Service (% export barang, jasa, dan pendapatan utama) Indonesia dengan Srilanka mempunyai trajektori yang sama.
Srilanka DSR nya berada di 39,3% dan Indonesia di 36,7%, ini yang harus diwaspadai.
Jangan dilihat dari PDB saja, angka DSR dibandingkan PDB ini seringkali missleading.
Seperti hutang publik di tahun 1977 terlihat masih aman, tapi ternyata 97 dan 98 terjadi krisis yang parah.
Itu karena Indonesia tidak menghitung DSR. Jadi ini bukan pernyataan pesimis, tapi Indonesia harus benar-benar waspada.
Solusinya adalah: Pertama, negara harus berhati-hati menempatkan prioritas pengeluaran anggaran.
Jika Indonesia konfirm dengan kehati-hatian tersebut maka batalkan proyek-proyek infrastruktur yang tidak memberikan return kepada return kepada perekonomian seperti pemindahan IKN contohnya.
Tidak menyia-nyiakan APBN untuk hal-hal yang tidak berguna, contohnya vaksin booster yang dibiayai negara dengan anggaran 11 triliun sementara kondisi kita sudah Herd Imunity.
Jika masyarakat ingin mendapatkan ketenangan dengan vaksin booster tentunya masyarakat bisa membiayai sendiri, sehingga tidak perlu syarat-syarat perjalanan harus divaksin booster.
Dan anggaran yang tidak berguna tersebut bisa direalokasi ke program-program yang lebih berguna. Ketiga, Indonesia harus membangun kemandirian pangan dan energi.
Memberikan kekuatan BUMN-BUMN yang terkait langsung dengan pangan, di equipt dengan benar dan diberi modal yang baik dan diberi target.
Saat ini Indonesia memberikan penyertaan modal PMN, tapi PMN ini mayoritas diberikan kepada BUMN-BUMN karya-karya, tidak diberikan kepada BUMN energi dan pangan.
Tiga hal tersebut akan membuat Indonesia terbebas dari kerentanan hutang dan juga terbebas menjadi negara gagal sepertPakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***