BISNIS NEWS – Pertumbuhan ekonomi triwulan I (Q1)/2022 tercatat 5,01 persen. Cukup mengecewakan!
Loh, kok mengecewakan? Bukankah banyak pihak yang bangga dengan pertumbuhan ekonomi sebesar ini?
Mengecewakan, karena kenaikan harga komoditas yang tinggi ternyata tidak mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Pertemuan Jokowi dan Prabowo, AHY Sebut Silaturahmi Antar Pemimpin Bangsa Sebagai Kegiatan yang Baik
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, kalau tercapai, lumayan untuk memenuhi janji kampanye, meskipun hanya satu kuartal.
Mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi ternyata hanya 5 persen.
Bayangkan, harga komoditas pada 2022 meroket. Harga Batubara mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah.
Baca Juga:
Jelang HUT ke-129, BRI Borong 7 Penghargaan di Ajang Top 100 CEO & The 200 Leader Future Forum 2024
Begitu juga harga minyak sawit mentah. Kedua komoditas ini membuat ekspor Indonesia naik tajam.
Ekspor Q1/2022 naik 35,2 persen dibandingkan Q1/2021, atau naik 17 miliar dolar AS.
Sedangkan surplus neraca perdagangan naik 69 persen, dari 5,5 miliar dolar AS menjadi 9,3 miliar dolar AS, atau naik 3,8 1miliar dolar AS.
Tapi semua itu tidak membuat ekonomi meroket. Konsumsi masyarakat dan Investasi masih stagnan, masing-masing hanya memberi kontribusi 2,3 persen dan 1,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga:
Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim, Melalui Pendampingan BRI
Jauh lebih rendah dari tahun 2012 ketika harga komoditas juga melonjak tajam.
Ketika itu, konsumsi masyarakat dan investasi masing-masing memberi kontribusi 3,0 persen dan 2,9 persen.
Artinya, kenaikan harga komoditas yang melonjak tajam tersebut dinikmati sendiri oleh para oligarki.
Kenaikan ini tidak menetes ke masyarakat. Karena itu juga tidak membuat investasi naik.
Selanjutnya, kenaikan harga komoditas membuat penerimaan negara melonjak.
Penerimaan Negara dari Perpajakan naik 38,25 persen, dari Rp290,4 triliun pada Q1/2021 menjadi Rp401,8 triliun pada Q2/2022, atau naik Rp111,4 triliun.
Ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), total kenaikan Pendapatan Negara menjadi Rp122,2 triliun.
Tetapi, anehnya, Belanja Negara malah kontraksi, atau turun Rp32,4 triliun.
Belanja Negara pada Q1 tahun lalu mencapai Rp523 triliun, sedangkan pada Q1 tahun ini hanya Rp490,6 triliun.
Sehingga kontribusi Konsumsi Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi minus 0,5 persen.
Di lain sisi, masyarakat dibebani kenaikan harga pangan dan harga energi. Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, konsumsi masyarakat stagnan.
Namun demikian, Pemerintah tidak membantu meringankan beban hidup masyarakat, tidak membantu stimulus ekonomi, di mana Konsumsi Pemerintah kontraksi.
Apakah kebijakan fiskal yang tidak lazim ini hanya untuk mencapai surplus anggaran APBN, di tengah derita masyarakat?
APBN pada Q1/2021 tercatat defisit Rp144,2 triliun, tiba-tiba menjadi suplus Rp10,3 triliun pada periode sama tahun ini. Hal ini menunjukkan kebijakan fiskal tidak pro rakyat.
Kalau saja kebijakan fiskal dilakukan secara benar, pertumbuhan ekonomi 7 persen seharusnya tidak sulit dicapai.
Tambahan 2 persen bisa diperoleh dari konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat dan investasi.
Tetapi karena negara tidak diurus, karena para pejabat lebih sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen melayang.
Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga komoditas dunia menjadi faktor pendongkrak ekonomi Indonesia.
Membuat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 3,5 persen, merupakan kontribusi tertinggi sejak 2011.
Tetapi, semua itu hanya dinikmati oleh para pengusaha oligarki. Masyarakat hanya mendapat getah berupa kenaikan harga.
Kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen sudah menjadi bubur. Sekarang dunia sedang menghadapi koreksi kebijakan moneter.
Suku bunga global akan naik untuk melawan inflasi. Koreksi kebijakan moneter ini akan membawa konsekuensi buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Harga komoditas akan turun, suku bunga akan naik, kurs rupiah akan tertekan dan melemah, pendapatan negara akan turun tajam.
Defisit anggaran 2023 akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB dan membuat konsumsi pemerintah akan kontraksi.
Artinya, masa depan ekonomi Indonesia hingga menjelang pemilu Februari 2024 terlihat sangat suram.
Opini: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).***