Masa Depan Ekonomi Indonesia Terlihat Sangat Suram, Jelang Pemilu Februari 2024

- Pewarta

Minggu, 15 Mei 2022 - 18:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi seputar kegiatan ekonomi skala kecil. (Instagram.com/@faslakb)

Ilustrasi seputar kegiatan ekonomi skala kecil. (Instagram.com/@faslakb)

BISNIS NEWS – Pertumbuhan ekonomi triwulan I (Q1)/2022 tercatat 5,01 persen. Cukup mengecewakan!

Loh, kok mengecewakan? Bukankah banyak pihak yang bangga dengan pertumbuhan ekonomi sebesar ini?

Mengecewakan, karena kenaikan harga komoditas yang tinggi ternyata tidak mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen.

Padahal, kalau tercapai, lumayan untuk memenuhi janji kampanye, meskipun hanya satu kuartal.

Mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi ternyata hanya 5 persen.

Bayangkan, harga komoditas pada 2022 meroket. Harga Batubara mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah.

Begitu juga harga minyak sawit mentah. Kedua komoditas ini membuat ekspor Indonesia naik tajam.

Ekspor Q1/2022 naik 35,2 persen dibandingkan Q1/2021, atau naik 17 miliar dolar AS.

Sedangkan surplus neraca perdagangan naik 69 persen, dari 5,5 miliar dolar AS menjadi 9,3 miliar dolar AS, atau naik 3,8 1miliar dolar AS.

Tapi semua itu tidak membuat ekonomi meroket. Konsumsi masyarakat dan Investasi masih stagnan, masing-masing hanya memberi kontribusi 2,3 persen dan 1,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jauh lebih rendah dari tahun 2012 ketika harga komoditas juga melonjak tajam.

Ketika itu, konsumsi masyarakat dan investasi masing-masing memberi kontribusi 3,0 persen dan 2,9 persen.

Artinya, kenaikan harga komoditas yang melonjak tajam tersebut dinikmati sendiri oleh para oligarki.

Kenaikan ini tidak menetes ke masyarakat. Karena itu juga tidak membuat investasi naik.

Selanjutnya, kenaikan harga komoditas membuat penerimaan negara melonjak.

Penerimaan Negara dari Perpajakan naik 38,25 persen, dari Rp290,4 triliun pada Q1/2021 menjadi Rp401,8 triliun pada Q2/2022, atau naik Rp111,4 triliun.

Ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), total kenaikan Pendapatan Negara menjadi Rp122,2 triliun.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Tetapi, anehnya, Belanja Negara malah kontraksi, atau turun Rp32,4 triliun.

Belanja Negara pada Q1 tahun lalu mencapai Rp523 triliun, sedangkan pada Q1 tahun ini hanya Rp490,6 triliun.

Sehingga kontribusi Konsumsi Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi minus 0,5 persen.

Di lain sisi, masyarakat dibebani kenaikan harga pangan dan harga energi. Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, konsumsi masyarakat stagnan.

Namun demikian, Pemerintah tidak membantu meringankan beban hidup masyarakat, tidak membantu stimulus ekonomi, di mana Konsumsi Pemerintah kontraksi.

Apakah kebijakan fiskal yang tidak lazim ini hanya untuk mencapai surplus anggaran APBN, di tengah derita masyarakat?

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

APBN pada Q1/2021 tercatat defisit Rp144,2 triliun, tiba-tiba menjadi suplus Rp10,3 triliun pada periode sama tahun ini. Hal ini menunjukkan kebijakan fiskal tidak pro rakyat.

Kalau saja kebijakan fiskal dilakukan secara benar, pertumbuhan ekonomi 7 persen seharusnya tidak sulit dicapai.

Tambahan 2 persen bisa diperoleh dari konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat dan investasi.

Tetapi karena negara tidak diurus, karena para pejabat lebih sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen melayang.

Peluang bagi aktivis pers pelajar, pers mahasiswa, dan muda/mudi untuk dilatih menulis berita secara online, dan praktek liputan langsung menjadi jurnalis muda di media ini. Kirim CV dan karya tulis, ke WA Center: 087815557788.

Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga komoditas dunia menjadi faktor pendongkrak ekonomi Indonesia.

Membuat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 3,5 persen, merupakan kontribusi tertinggi sejak 2011.

Tetapi, semua itu hanya dinikmati oleh para pengusaha oligarki. Masyarakat hanya mendapat getah berupa kenaikan harga.

Kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen sudah menjadi bubur. Sekarang dunia sedang menghadapi koreksi kebijakan moneter.

Suku bunga global akan naik untuk melawan inflasi. Koreksi kebijakan moneter ini akan membawa konsekuensi buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Harga komoditas akan turun, suku bunga akan naik, kurs rupiah akan tertekan dan melemah, pendapatan negara akan turun tajam.

Defisit anggaran 2023 akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB dan membuat konsumsi pemerintah akan kontraksi.

Artinya, masa depan ekonomi Indonesia hingga menjelang pemilu Februari 2024 terlihat sangat suram.

Opini: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).***

Berita Terkait

Sri Mulyani Bertemu dengan 40 Pengusaha US – ASEAN Business Council, Bahas Prioritas Ekonomi Indonesia
Penurunan Produksi Masih Terus Berlangsung Jadi Tantangan Utama yang Dihadapi Industri Hulu Migas Saat Ini
Di Hadapan Para Pimpinan Perusahaan AS – ASEAN, Prabowo Subianto Puji Kinerja Kabinet Merah Putih
Prabowo Subianto Berharap Tahun 2025 Tak Impor Beras, Tren Produksi Pangan Indonesia Meningkat
Dukung Stabilitas Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, BRI Raih 2 Penghargaan Bank Indonesia Awards 2024
Kadin Indonesia Beber Alasan Minta Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Sebesar 12 Persen Ditunda
Konsisten Meningkatkan Kualitas Implementasi GCG, BNI Kembali Raih Predikat ‘The Best Overall in Corporate Governance’
Unggul dalam Tata Kelola, BRI Dinobatkan Sebagai The Most Trusted Company 2024
Jasasiaranpers.com dan media online ini mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.

Berita Terkait

Rabu, 4 Desember 2024 - 14:44 WIB

Sri Mulyani Bertemu dengan 40 Pengusaha US – ASEAN Business Council, Bahas Prioritas Ekonomi Indonesia

Rabu, 4 Desember 2024 - 07:42 WIB

Penurunan Produksi Masih Terus Berlangsung Jadi Tantangan Utama yang Dihadapi Industri Hulu Migas Saat Ini

Selasa, 3 Desember 2024 - 16:24 WIB

Di Hadapan Para Pimpinan Perusahaan AS – ASEAN, Prabowo Subianto Puji Kinerja Kabinet Merah Putih

Selasa, 3 Desember 2024 - 14:31 WIB

Prabowo Subianto Berharap Tahun 2025 Tak Impor Beras, Tren Produksi Pangan Indonesia Meningkat

Senin, 2 Desember 2024 - 10:37 WIB

Dukung Stabilitas Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, BRI Raih 2 Penghargaan Bank Indonesia Awards 2024

Sabtu, 30 November 2024 - 10:00 WIB

Kadin Indonesia Beber Alasan Minta Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Sebesar 12 Persen Ditunda

Kamis, 28 November 2024 - 20:42 WIB

Konsisten Meningkatkan Kualitas Implementasi GCG, BNI Kembali Raih Predikat ‘The Best Overall in Corporate Governance’

Kamis, 28 November 2024 - 13:04 WIB

Unggul dalam Tata Kelola, BRI Dinobatkan Sebagai The Most Trusted Company 2024

Berita Terbaru