BISNIS NEWS – Pengusaha baja kawakan, Liwa Supriyanti menyebutkan, green steel bisa menjadi trend pada 2022 dan masa depan.
Indikasi terobosan metode dan percobaan proses produksi juga mengarah ke sana.
Konsumen dan pengusaha secara global bangkit kepeduliannya dengan transisi keberlanjutan dari Environmental, Social, and Governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Presiden Prabowo Bangga Melihat Lahan Rawa Jadi Sawah Produktif di Sumsel, Didampingi Mentan Amran

SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian, dinyatakan oleh perempuan yang menjabat sebagai Direktur perusahaan baja Gunung Prisma.
Oleh karena itu, metode produksi baja menggunakan hidrogen atau green steel mutlak diperlukan, meski saat ini ongkos produksinya masih tinggi.
Namun harga hidrogen diperkirakan turun setengahnya dalam sepuluh tahun ke depan karena penurunan biaya produksi energi dari sinar matahari dan angin.
Baca Juga:
Maknai Hari Kartini, BRI Berdayakan Wanita Indonesia Melalui Program BRInita
Pemegang Saham BBRI Panen Dividen Final Senilai Rp31,4 Triliun pada Hari Rabu Ini 23 Mei 2025
Selain itu, bahan bakar yang sampai saat ini dipakai (fosil) biayanya akan naik karena berbagai disinsentif terhadap penggunaannya akibat mencemari lingkungan.
“Green commitment Gunung Prisma menjadi sandaran dalam menyediakan baja sebagai material,” kata Liwa supriyanti dikutip dari situs resminya.
Perempuan yang telah berkecimpung selama 20 tahun di industri baja itu dengan posisinya sebagai direktur perusahaan dengan lingkup internasional (yang telah bekerja sama dengan 25 perusahaan Asia).
Dia ikut mbil bagian untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dan upaya transformasi dari bahan bakar fosil ke green steel yang ramah lingkungan pada masa mendatang.
Baca Juga:
Bank DKI Pastikan Keamanan Dana Nasabah di Tengah Proses Forensik Digital
Butuh Pintu Proyek Skala Besar? Kodai Door Punya Solusinya – Temui Kami di MEGABUILD Indonesia 2025!
Dalam situsnya World Economic Forum 18 Maret 2022 memaparkan bagaimana konsumen juga menjadi motor yang mendorong keberlanjutan, dalam laporan global oleh The Economist Intelligence Unit, yang ditugaskan oleh WWF, bahwa pencarian di ranah daring naik signifikan 71% untuk barang-barang berkelanjutan selama 5 tahun terakhir.
Meminjam istilahnya “eco-wakening” ini tidak hanya pada konsumen di negara berpendapatan tinggi, tetapi juga di negara berkembang dan kekuatan ekonomi baru, seperti Indonesia, sebesar 24% dan secara fenomenal 120% di Ekuador.
Upaya transformasi itu dilaksanakan dengan cara pengetatan emisi karbon yang salah satu wujud nyatanya adalah penerapan tarif atau pajak karbon, sehingga produsen akan mempertimbangkan penggunaannya.
Upaya di tingkat nasional, Presiden Joko Widodo menandatangani The Economic Value of Carbon yang menetapkan kebijakan bahwasannya perusahaan yang melebihi batas ini harus membayar 30.000 rupiah ($ 2,09) per ton CO2e untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, pada tahap awal implementasinya.
Lulusan Universitas Parahyangan Bandung itu menambahkan, dengan tujuan untuk menciptakan industri yang berkelanjutan, pihaknya terus membangun hubungan berdasarkan saling mendukung dan selaras dengan visi utama Gunung Prisma yang mendukung pelestarian lingkungan.
Layaknya gayung bersambut, banyak industri mengevaluasi sistem produksi untuk memastikan pemangkasan emisi karbon secara besar-besaran agar secepatnya mencapai target nol karbon.
Dimulai pada industri otomotif, di mana Toyota menetapkan pengurangan emisi karbon sebesar 3% pada para pemasok komponen, dan Volkswagen berniat memastikan semua pabrik mereka di Eropa hanya menggunakan energi terbarukan pada 2023.***