BISNIS NEWS – Di Indonesia sudah biasa masyarakat miskin dijatah jatah, dulu di jatah minyak tanah, jaman sekarang dijatah solar, pertalite dan LPG 3 kg.
Nanti juga akan ada saatnya lagi dijatah beras, dan kebutuhan pokok lain. Itu bisa terjadi dalam waktu dekat kalau pemerintahan sedang susah uang kita akan masuk era penjatahan lagi.
Hanya saja sistem penjatahan semacam ini belum ada regulasinya. Jatah BBM Solar, Pertalite dan LPG tidak diatur di tinggal UU, baik UU migas, UU APBN, atau UU keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Pertemuan Jokowi dan Prabowo, AHY Sebut Silaturahmi Antar Pemimpin Bangsa Sebagai Kegiatan yang Baik
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan dalam UU darurat ekonomi akibat covis yakni UU no 2 Tahun 2020 penjajahan bahan bakar pertalite, solar, dan LPG 3 kg lupa diatur oleh DPR bersama pemerintah.
Akhirnya jatah masyarakat kurang mampu ini diubah menjadi kuota. Kata jatah di ubah menjadi kuota.
Entah dari mana dicomot kata kuota ini. Dari sisi kaidah bahasa yang benar, kata kuota tidak relevan dengan penjajahan bahan bakar bersubsidi.
Baca Juga:
Jelang HUT ke-129, BRI Borong 7 Penghargaan di Ajang Top 100 CEO & The 200 Leader Future Forum 2024
Menurut KBBI ku·o·ta bisa diartikan:
1. Jatah; jumlah yang ditentukan: pemerintah akan menentukan — transmigrasi dari berbagai kabupaten; menurut — , daerah itu harus memenuhi 25% kebutuhan ternak potong;
2. Jumlah tertinggi dari barang yang mendapat izin impor (ekspor) ke pasaran internasional, negara lain, dan sebagainya dalam jumlah dan periode tertentu; jatah;
3. Jumlah tertinggi orang yang boleh masuk (keluar) ke (dari) suatu negara (seperti ketika menunaikan ibadah haji);– ekspor jumlah maksimum barang yang diekspor dalam waktu tertentu.
Baca Juga:
Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim, Melalui Pendampingan BRI
KBBI sama sekali tidak mendefinisikan kata kuota terkait BBM bersubsidi.
Mungkin ini agak kesulitan menggunakan diksi ini, sebab akan muncul pertanyaan, apakah kuota atas uang APBN agar tidak jebol?
Apakah kuota bagi setiap daerah agar tidak diambil daerah lain? apakah kuota bagi setiap orang agar tidak mengambil jatah orang lain?
Apakah kuota impor solar dan pertalite bagi perusahaan importir, ini memang masalah yang rumit.
Tapi intinya terpulang kepada apakah pemerintah punya uang atau tidak.
Kalau tidak punya uang maka pemerintah tidak bisa membayar subsidi BBM dan kompensasi atas selisih harga.
Caranya maka dikurangilah jatah BBM bersubsidi bagi orang miskin.
Namun disaat tidak punya uang dan hendak membagi jatah sesuai uang yang ada pemerintah kembali kesulitan menentukan siapa yang berhak menerima jatah ini.
Kategori tidak mampu seperti apa yang tidak berhak menerima jatah BBM bersubsidi atau BBM yang harganya lebih dari separuh dibayar oleh pemerintah.
1. Apakah penduduk berpendapat terbawah yang menurut data bank dunia 40 persen jumlahnya atau sekitar 100 juta lebih orang.
2. Apakah penduduk miskin absolut sejumlah 10,14 persen dari jumlah penduduk atau 27 juta jiwa yang berhak mendapat LPG, pertalite dan solar subsidi.
3. Apakah masyarakat kurang mampu pemilik sepeda motor sejumlah 115 juta sepeda motor yang ada di Indonesia yang berhak menerima pertalite subsidi?
4. Apakah penerima BBM subsidi yang berhak ini adalah pemilik 16 juta kendaraan penumpang roda empat di Indonesia.
5. Apakah penerima jatah BBM subsidi solar dan pertalite ini adalah sekitar 1 jutaan armada angkutan segala jenis.?
Semua ini sulit ditetapkan oleh pemerintah. Sementara pemeirntah sendiri sedang kere dan tidak punya kemampuan lagi membayar harga BBM subsidi sesuai jumlah yang dibutuhkan oleh kelompok kurang mampu diatas.
Maka muncullah kata kuota jebol, penggunaan BBM bersubsidi melebihi kemampuan bayar pemeirntah.
Akhirnya yang disuruh bayar adalah Pertamina sebagai pihak yang ditugaskan menyalurkan BBM bersubsidi tersebut.
Kalau negara saja kurang uangnya, sudah kere, padahal negara bisa mungut pajak, bisa mungut royalti sumber daya alam, bisa utang besar besaran, bisa jual aset negara suka suka pemeirntah.
Bagaimana dengan uang Pertamina yang cuma modal jualan BBM komersial yang kurang dari separuh BBM yang diperdagangkan di Indonesia. Apakah Pertamina tidak tekor?
Oleh karena itu terpulang semuanya kepada pemerintah, carilah uang yang banyak, lalu setelah itu naikkan jumlah jatah solar, pertalite dan LPG 3 kilogram bagi kelompok kurang mampu di atas. Itu jumlah mereka sangat besar.
Itu ibarat negara bapak, maka masyarakat ini adalah anak anaknya.
Nah anak anaknya ini banyak sekali yang miskin, maka tugas bapaknya mecari uang agar tetap bisa memberikan subsidi BBM pertalite, solar dan LPG sesuai kebutuhan anak anaknya.
Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.***
Buat yang hobby berbagi tulisan artikel atau opini (pendapat, pandangan dan tanggapan) ayo menulis, artikel dapat dikirim lewat WhatsApp ke: 0855-7777888.