BISNIS NEWS – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan proses pemulihan perekonomian yang telah berjalan sejak tahun 2021.
Cukup memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Antara lain terlihat dari surplus neraca perdagangan pada tahun 2021 yang mampu dipertahankan pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim, Melalui Pendampingan BRI
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari hingga Juli 2022 tercatat surplus 29,17 miliar US dollar.
Demikian pula nilai ekspor Indonesia pada periode Januari hingga Juni 2022, juga meningkat 37,11 persen dibanding periode yang sama tahun 2021, mencapai 141,07 miliar US dollar.
“Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk pesimis. Walaupun IMF dan Bank Dunia memperkirakan perekonomian di 66 negara akan bangkrut dan ambruk.”
Baca Juga:
Figur Inspiratif Lokal Gerakkan UMKM di Desa Bululor, Jambon, Ponorogo, Diberdayakan BRI
Rosan Perkasa Roeslani Jelaskan Soal Rencana Investasi Apple Sebesar 1 Miliar Dolar AS di Indonesia
“Serta suasana dunia yang masih dibayang-bayangi oleh wajah muram perekonomian global, yang dipicu oleh melambungnya harga komoditas global.”
“Kebijakan moneter negara maju yang mulai agresif, serta masih berlangsungnya konflik Rusia-Ukraina.”
“Ditambah eskalasi ketegangan baru di Taiwan, namun kita tetap harus optimistis bisa mengakhiri tahun 2022 ini dengan baik,” ujar Bamsoet.
Bamsoet menyampaikan hal ini saat Menutup Musyawarah Nasional Pertama Jaringan Pengusaha Nasional (JAPNAS), di Jakarta, Jumat malam, 26 September 2022.
Baca Juga:
Di Hadapan Para Pimpinan Perusahaan AS – ASEAN, Prabowo Subianto Puji Kinerja Kabinet Merah Putih
Bamsoet menjelaskan, surplus neraca perdagangan, optimisme pemulihan ekonomi Indonesia telah berjalan baik dan berada di jalur yang tepat
Selain itu juga terlihat dari data CEIC and Verdana Research yang memperlihatkan pendapatan pemerintah (government revenue) meningkat positif hingga 51 persen.
Tertinggi di dunia, melampaui Saudi Arabia di posisi kedua dengan 43 persen dan Brazil di posisi ketiga dengan 30 persen.
“Hasil survei Bloomberg menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat resiko resesi yang kecil, hanya 3 persen.”
“Dangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata negara Amerika dan Eropa (40 hingga 55 persen) ataupun negara Asia Pasifik (pada rentang antara 20 hingga 25 persen).”
“Pada level regional, Indonesia juga memiliki kontribusi besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, menurut proyeksi IMF, PDB negara-negara ASEAN pada tahun 2025 akan mencapai 5,2 triliun US dollar.
Dari besaran angka ini, Indonesia memiliki kontribusi sebesar 1,63 triliun US dollar, atau yang terbesar di antara negara-negara ASEAN lainnya.
IMF juga memprediksikan bahwa ASEAN akan menjadi pasar terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2030.
“Merujuk pada data Survei Konsumen Bank Indonesia, tercatat Indeks Keyakinan Konsumen pada bulan Juli 2022 mencapai 123,2, atau berada dalam zona optimis, raihan indeks di atas 100.”
“Jika dapat terus dipertahankan, ekspektasi pemulihan perekonomian nasional akan dapat kita wujudkan,” terang Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, posisi Indonesia yang saat ini menjadi pengampu Presidensi G20 juga harus dapat memberikan dampak nyata bagi perekonomian nasional.
Menurut kalkulasi, gelaran G20 di Indonesia diharapkan mampu memberikan kontribusi sebesar 533 juta US dollar bagi PDB nasional, meningkatkan konsumsi domestik hingga Rp 1,7 triliun.
Mendorong terciptanya 600 ribu hingga 700 ribu lapangan kerja baru, dan menyerap 33.000 tenaga kerja di sektor UMKM.
“Berbagai faktor tersebut juga didukung tingkat capaian vaksinasi Covid-19 di tanah air, yang per 25 Agustus 2022 telah mencapai lebih dari 86 persen untuk dosis pertama, dan sekitar 73 persen untuk dosis kedua.”
“Jauh lebih baik dibandingkan beberapa negara lain di kawasan Asia dan Afrika.”
“Setidaknya, aktivitas perekonomian berangsur membaik, dan tidak lagi terhambat oleh pembatasan mobilitas seperti pada awal masa pandemi,” pungkas Bamsoet.***