BISNIS NEWS – Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian sedang menyiapkan instrumen-instrumen sebagai upaya mendukung terciptanya iklim industri hilir pengguna kelapa sawit yang mengedepankan keseimbangan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Dialog virtual bertajuk Recover Stronger through Low-Carbon Economy digagas oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) bekerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia.
Dialog ini merupakan salah satu upaya dalam mendukung Presidensi G20 Indonesia serta mendorong peran serta aktif sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi rendah karbon dengan menerapkan praktik bisnis berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Pertemuan Jokowi dan Prabowo, AHY Sebut Silaturahmi Antar Pemimpin Bangsa Sebagai Kegiatan yang Baik
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika dalam kesempatan ini menyampaikan, industri sawit merupakan sektor padat karya unggulan yang menopang perekonomian nasional.
Untuk itu pengembangan keberlanjutan industri hilir minyak sawit sangat penting.
Minyak dan biomass kelapa sawit hendaknya mengikuti standar internasional yang bertumpu pada sustainable development goals sehingga palm oil Indonesia feed nation feed the world dan memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan pangan global.
Baca Juga:
Jelang HUT ke-129, BRI Borong 7 Penghargaan di Ajang Top 100 CEO & The 200 Leader Future Forum 2024
“Saat ini melihat perkembangannya, dari sisi aturan dan kelengkapan ISPO untuk industri hilir kelapa sawit sudah sampai tahap final.”
“Namun masih menunggu payung hukumnya dalam waktu dekat.” kata Putu dalam keynote speech yang disampaikan.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kementerian Perdagangan, Isy Karim menyampaikan secara umum Kementerian Perdagangan mendorong kebijakan program-program dalam rangka hilirisasi untuk produk-produk sawit tidak hanya dalam bentuk bahan mentah.
Kementerian Perdagangan ingin produksi sawit memiliki nilai yang lebih tinggi tidak hanya untuk ekspor.
Baca Juga:
Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim, Melalui Pendampingan BRI
“Sementara itu untuk mendukung penyerapan konsumsi produk kelapa sawit berkelanjutan dalam negeri masih menunggu arahan dari Presiden.”
Di sisi lain, peningkatan permintaan sawit kerap dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan seputar isu lingkungan dan sosial.
Untuk itu, Senior Manager Global Community Outreach & Engagement RSPO, Imam A. El Marzuq menjelaskan bahwa penerapan praktik produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dapat menjawab tantangan tersebut.
“Penggantian kelapa sawit dengan subtitusi komoditas minyak nabati lain bukanlah solusi.”
“Jika dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lain, kebun kelapa sawit yang tersertifikasi berkelanjutan.”
“Memiliki dampak emisi gas rumah kaca dan keanekaragaman hayati sebesar 35% dan 20% lebih kecil dibandingkan perkebunan yang belum bersertifikat.”
Untuk itu RSPO lebih mengedepankan desain tata kelola sawit yang mengadopsi penerapan Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) untuk menekan deforestasi.
Palm Oil Buyers Scorecard (POBS), publikasi tahunan yang diluncurkan oleh WWF sejak tahun 2009, bertujuan untuk melihat capaian progress perusahaan di sektor hilir.
Dalam melakukan pengadaan produk kelapa sawit dan turunannya yang berkelanjutan berdasarkan kriteria ketulusuran rantai pasok dan supplier, serta aksi dan investasi keberlanjutan, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hampir di semua indikator.
“Positive trends POBS di industri hilir sawit ini disebabkan oleh peningkatan awareness dan demand pressure market, ambisi sustainability sebagai core perusahaan dan kebijakan transisi ekonomi hijau rendah karbon.”
Demikian dikatakan oleh Senior Engagement Manager Global Palm Oil WWF Singapore, Octyanto Bagus Indra Kusuma.
“Sehingga semakin banyak perusahaan yang ingin memperbaiki diri dan membuktikan industri sawit bebas deforestasi dan pelanggaran HAM.”
Aspek keberlanjutan sebagai core perusahaan kini juga menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pembiayaan investasi di sektor jasa keuangan (SJK).
Head of International Subsidiary Banking HSBC Indonesia, Charles Kho, dalam sesi panel diskusi mengutarakan Taksonomi Hijau menjadi titik awal standar bahasa rujukan yang sama bagi perbankan.
Namun, kedepannya dokumen ini saja tidak cukup, perlu adanya pengembangan standar pelaporan dan pemaparan progress aktivitas hijau secara berkala untuk mencegah terjadinya potensi praktik greenwashing.
“Dalam konteks palm oil kami dan rantai pasoknya, kami akan focus pada Green Loan-Sustainability Linked Loan (SLL), Trade Financing-Sustainability Linked Trade Load (SLTL) dan Sustainability Supply Chain Financing (SCCF) yang menggunakan dasar Green Loan Principles”.
Charles menekankan yang terpenting perusahaan memiliki indeks kinerja utama (KPI), target kinerja keberlanjutan (SPT), tata kelola yang baik agar pelaporan dan verifikasi terukur.
Ia berharap produk green loan-financing HSBC Indonesia dapat menjadi katalis percepatan aktivitas ekonomi yang dapat meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial.
Secara garis besar, dialog ini meyakini bahwa sawit berkelanjutan merupakan industri unggulan yang memiliki peran penting dalam mendukung upaya terciptanya ekonomi rendah karbon di Indonesia.
Presidensi G20 menjadi ruang bagi Indonesia menjadi leading sustainable palm oil dengan urgensi pendekatan climate change oleh negara.
Sudah saatnya isu keberlanjutan menjadi tanggung jawab kolektif yang membutuhkan sinergi lintas sektor yang kuat.
Upaya multipihak yang dilakukan oleh pemerintah, sektor jasa keuangan dan lembaga sertifikasi diharapkan dapat menciptakan ekosistem yang membuat pelaku industri hilir dan hulu sawit berlomba-lomba untuk menerapkan praktik bisnis yang berwawasan lingkungan dan sosial.***