PBISNIS NEWS – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama para Ketua Lembaga Tinggi Negara, termasuk Presiden Joko Widodo, melakukan rapat konsultasi.
Terutama membahas antisipasi terhadap berbagai kondisi global yang diperkirakan kedepannya semakin tidak menentu.
Selain karena masih adanya efek pandemi Covid-19, ditambah terjadinya konflik Rusia-Ukraina, perang dagang dan teknologi Amerika Serikat-Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Pertemuan Jokowi dan Prabowo, AHY Sebut Silaturahmi Antar Pemimpin Bangsa Sebagai Kegiatan yang Baik
SCROLL TO RESUME CONTENT
Juga ketegangan baru di Selat Taiwan, serta disrupsi rantai pasok yang berimplikasi pada fluktuasi harga komoditas pangan dan energi.
Rapat konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara digagas pertama kalinya oleh (almarhum) Taufiq Kiemas saat menjabat Ketua MPR RI periode 2009-2013.
Tuan rumah rapat konsultasi dilakukan secara bergantian. Hari ini Presiden Joko Widodo yang menjadi tuan rumah.
Baca Juga:
Jelang HUT ke-129, BRI Borong 7 Penghargaan di Ajang Top 100 CEO & The 200 Leader Future Forum 2024
Rapat konsultasi selanjutnya akan di lakukan di DPR RI dengan tuan rumah Ketua DPR RI Puan Maharani.
“Presiden Joko Widodo menargetkan defisit anggaran pada tahun 2023 bisa dibawah 3 persen, maksimal 2,8 persen,” ujar Bambang Soesatyo (Bamsoet)
Bamsoet menyampaikan hal itu usai rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo dan Ketua Lembaga Tinggi Negara, di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, 12 Agustus 2022
Dia menyebutkan, butuh kerja keras untuk merealisasikannya mengingat kondisi pemulihan global yang tidak menentu.
Baca Juga:
Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan Jatim, Melalui Pendampingan BRI
Selain juga faktor peningkatan utang yang signifikan, menimbulkan beban pembayaran bunga tambahan.
Pembayaran kupon dan jatuh tempo utang pemerintah akan berdampak pada pengurangan cadangan devisa.
Berdasarkan data bulan Juli 2022, kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia mencapai USD 21,6 miliar per bulan.
Sementara posisi cadangan devisa Indonesia pada bulan Juli 2022 masih senilai lebih dari dua kali lipat dari standar kecukupan internasional.
Turut hadir antara lain, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Ketua MK Anwar Usman, Ketua MA Syarifuddin, Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata, dan Ketua BPK Isma Yatun.
Hadir pula Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang mendampingi Presiden Joko Widodo.
Bamsoet menjelaskan, sebagai strategi jangka pendek dalam menghadapi berbagai situasi tersebut, penyusunan prioritas dan realokasi anggaran secara tepat harus segera diperlukan.
Kebijakan burden sharing yang tidak hanya dengan moneter tetapi juga dengan dunia usaha, dapat menjadi opsi dalam upaya pembiayaan ketidakpastian di masa mendatang.
Sementara untuk strategi jangka panjang, membutuhkan perencanaan pembayaran utang setidaknya untuk 30 tahun kedepan dan pada saat yang bersamaan memastikan kondisi fiskal dan moneter tetap terjaga.
“Di sektor fiskal, tantangan yang harus dihadapi adalah normalisasi defisit anggaran, menjaga proporsi utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto, dan keberlanjutan pembiayaan infrastruktur.”
“Dari segi moneter, tantangan terbesar adalah mengendalikan laju inflasi, menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah,” jelas Bamsoet.
Di sisi lain, lanjut Bamsoet. Krisis pangan dan krisis energi global juga harus diantisipasi untuk me-minimalisir dampak buruk bagi Indonesia.
Dan tidak berimbas pada terganggunya agenda politik nasional yang sudah di depan mata (Pemilu Serentak 2024 dan Pilkada Serentak 2024).
“Tantangan lainnya adalah, seperti diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi tahunan per Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen.”
Penyumbang inflasi dari kenaikan harga cabai merah, kenaikan tarif angkatan udara, bahan bakar rumah tangga, dan cabai rawit.
Diperkirakan dan pada bulan Agustus inflasi akan meningkat pada kisaran 5 hingga 6 persen.
“Bahkan pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen,” ujar Bamsoet.
Namun demikian, kata Bamsoet. Ada sisi positif yang Indonesia miliki berdasarkan hasil survey Bloomberg, Indonesia dianggap sebagai negara dengan tingkat resiko resesi yang kecil, hanya 3 persen.
Sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata negara Amerika dan Eropa (40 hingga 55 persen) ataupun negara Asia Pasifik (pada rentang antara 20 hingga 25 persen.***