BISNISNEWS.COM – Lembaga moneter internasional, IMF dua hari lalu membuat pernyataan bahwa biaya pinjaman pemerintah Indonesia kini terlalu tinggi.
IMF kesiangan alias terlambat melihat masalah ini, tetapi tidak salah karena semakin banyak pihak yang memberikan saran semakin baik bagi demokrasi.
Tetapi parlemen dan pemerintah sekarang tergolong keras kepala dan bebal karena tidak melihat dengan benar dan seksama terhadap suara-suara kebenaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebebalan publik menutupi saran-saran kebenaran, yang seharusnya diadopsi dalam pengambilan keputusan.
Rakyat banyak berkorban atas kecerobohan kebijakan seperti ini. Pajak rakyat terkuras untuk membayar utang katagori kaleng-kaleng berbunga tinggi.
Tetapi saya tidak menutup kemungkinan melihat pandangan sebagian pengambil keputusan yang naif terhadap kebijakan utang publik yang terus digenjot tanpa perhitungan teknokratis.
Itu terjadi karena watak politik rakus anggaran memang merupakan watak dasar dari politisi.
Tanpa kontrol dan kritik, kebijakan utang yang besar dengan bunga yang terlalu tinggi ditelan mentah-mentah begitu saja.
Kualitas kebijakan fiskal seperti ini naif dan setara dengan negara terbelakang Bangladesh, seperti dikemukakan IMF.
Dana Moneter Internasional atau IMF dalam hal ini benar menganggap level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi.
Saya mengatakan tidak pakai nalar yang memadai, IMF mengatakan bahwa kondisi level bunga pun tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semestinya semakin baik dari waktu ke waktu.
Mengapa kebijakan fiskal utang publik ini rendah kualitasnya? Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, Indonesia masuk 3 besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India.
Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun. Jawaban atas pertanyaan itu tidak lain adalah faktor politik, yang prosesnya tidak berkualitas.
Pemerintah yang oligarkis dalam mengambil keputusan pada elite terbatas kemaruk dengan watak maximizing budget untuk kepentingan politiknya.
Kontrol check and balance mati karena tidak ada opposisi yang signifikan.
Kualitas partai tidak memadai sehingga jor-joran anggaran berjalan mulus dengan resiko beban utang tingga pada pemerintahan selanjutnya.
Sebagai contoh, pada tahun 2020 utang publik diputuskan sekitar 640 trilyun, kebijakan yang tidak memadai untuk mengendalikan utang secara baik.
Tetapi ketika terajdi serangan covid-19, maka tanpa basa-basi utang diputuskan sepihak oleh pemerintah naik menjadi 1200 trilyun rupiah. Realisasinya lebih gila lagi, yakni 1520 trilyun rupiah.
Untuk meloloskan kebijakan naif ini, wewenang DPR dilucuti sehingga APBN hanya diputuskan oleh pemerintah.
Jadi kebijakan fiskal ala regim ini adalah kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan kualitas setara negara terbelakang Bangladesh.
“Ini terlalu tinggi, dan kita inginnya itu lebih rendah lagi,” kata IMF Senior Resident Representative untuk Indonesia James Walsh saat berkunjung ke kantor majalah nasional di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Selasa, 1 November 2022.
IMF terlambat melihat ini karena sudah lama masalah ini menjadi sasaran kritik ekonom-ekonomi nasional.
Tetapi tidak bergeming karena akal sehat pengambil keputusan, parlemen dan pemrintah, tertutup watak dasar budget maximizer tanpa kalkulasi yang memadai.
Oleh: Didik J Rachbini, Pendiri dan Ekonom IINDEF Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), artikel dikutip Bisnisnews.com dari media Arahnews.com. ***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Bisnisnews.com, semoga bermanfaat.