Oleh: Triyo Saputra, Humas Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), Dialogue Communications
BISNISNEWS.COM – Pada bulan Desember 2024 lalu, Coca Cola meluncurkan iklan liburan terbaru yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI)
Kampanye ini merupakan remake dari iklan ikonik mereka, “Holidays Are Coming”, yang pertama kali dirilis pada tahun 1995 dan menjadi simbol nostalgia selama musim liburan.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Presiden Prabowo Bangga Melihat Lahan Rawa Jadi Sawah Produktif di Sumsel, Didampingi Mentan Amran

SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui teknologi AI, Coca-Cola berupaya menciptakan kembali keajaiban iklan asli namun kini dengan sentuhan modern dan inovasi teknologi.
Campaign ini menunjukkan bagaimana teknologi AI dapat digunakan secara kreatif dalam pembuatan iklan, tetapi juga mengungkapkan keterbatasan dan kelemahan dari model generatif video yang ada saat ini.
Walaupun hasilnya cukup memukau, teknologi ini masih menghadapi sejumlah kendala dalam hal akurasi visual dan pengolahan elemen-elemen kompleks dalam video.
Baca Juga:
Maknai Hari Kartini, BRI Berdayakan Wanita Indonesia Melalui Program BRInita
Pemegang Saham BBRI Panen Dividen Final Senilai Rp31,4 Triliun pada Hari Rabu Ini 23 Mei 2025
Ditambah lagi, langkah Coca-Cola ini langsung memicu perdebatan di kalangan konsumen dan pengamat industri.
Forbes juga menyoroti bahwa penggunaan AI dalam kampanye ini menunjukkan tren yang semakin marak di industri kreatif.
Tetapi juga mengungkapkan tantangan besar dalam menciptakan iklan yang dapat menggugah emosi secara autentik.
Kontroversi yang Muncul
Dibandingkan dengan iklan dari era 1990-an, para karakter dalam iklan ini tampaknya tidak diberi banyak waktu untuk berinteraksi atau tampil lama di layar.
Baca Juga:
Bank DKI Pastikan Keamanan Dana Nasabah di Tengah Proses Forensik Digital
Butuh Pintu Proyek Skala Besar? Kodai Door Punya Solusinya – Temui Kami di MEGABUILD Indonesia 2025!
Hal ini kemungkinan besar dilakukan untuk menghindari munculnya efek uncanny valley, atau fenomena di mana objek yang mirip manusia justru memunculkan rasa tidak nyaman karena terlihat terlalu asing atau menyeramkan.
Salah satu elemen yang mencolok adalah fakta bahwa wajah Santa Claus sama sekali tidak pernah ditampilkan di layar.
Sebagai gantinya, hanya tangannya yang besar dan tampak seperti karet yang terlihat memegang botol Coca-Cola.
Selain itu, berbagai detail visual dalam iklan ini tampak tidak benar.
Misalnya, dalam adegan pembuka, roda truk yang tampaknya meluncur mulus di atas tanah tanpa benar-benar berputar atau ukuran pintu yang terlalu kecil dibandingkan animasi manusia nya.
Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan model AI yang digunakan untuk menghasilkan animasi atau efek visual dalam iklan tersebut.
Model AI sering kali mengandalkan data pelatihan yang tidak sempurna, sehingga menghasilkan detail yang tidak masuk akal atau proporsi yang salah.
Sebagai contoh, AI cenderung kesulitan dalam memahami hubungan skala antara objek, seperti ukuran manusia dibandingkan dengan kendaraan.
Efek uncanny valley adalah tantangan besar dalam pembuatan konten visual yang menggunakan teknologi AI.
Semakin mirip AI mencoba menciptakan objek atau karakter yang menyerupai manusia, semakin besar risiko menciptakan rasa tidak nyaman.
Dalam kasus iklan ini, menghindari menampilkan wajah Santa Claus mungkin adalah keputusan strategis untuk menghindari kritik dan rasa tidak nyaman dari audiens.
Meskipun Coca-Cola berharap teknologi AI dapat membawa penyegaran baru pada kampanye klasik mereka, hasilnya justru menuai kontroversi.
Banyak konsumen berpendapat bahwa iklan ini kehilangan sentuhan manusiawi yang menjadi ciri khas dari iklan aslinya.
Artikel dari Marketing Week dan Adweek menyoroti bahwa konsumen merasa versi berbasis AI ini lebih mekanis dan tidak mampu membangkitkan nostalgia seperti yang dilakukan iklan aslinya.
Tanggapan Konsumen
Reaksi konsumen terhadap iklan Coca-Cola berbasis AI mencerminkan ketidakpuasan yang signifikan.
Konsumen menyampaikan kritik melalui media sosial bahwa kecerdasan buatan tidak dapat menggantikan elemen manusia dalam iklan yang berakar pada cerita emosional.
Artikel dari Marketing Interactive mencatat bahwa banyak konsumen menganggap AI terlalu impersonal untuk menciptakan iklan yang beresonansi dengan nilai-nilai nostalgia dan hubungan personal.
Sebuah survei dari Forbes menunjukkan bahwa hampir 50% konsumen merasa terganggu oleh iklan yang dibuat menggunakan AI, dengan alasan bahwa iklan tersebut kurang memiliki elemen emosional dan kreativitas manusia.
Dan, Coca Cola mengambil langkah yang tidak menghargai nilai seni.
Alex Hirsch, kreator serial Disney “Gravity Falls”, juga mengomentari kontroversi ini dan membela hak pekerja seni yang lapangan pekerjaannya semakin dirampas oleh kehadiran AI.
Banyak seniman dan profesional kreatif lainnya juga telah menyuarakan keprihatinan terhadap penggunaan AI dalam karya seni.
Mereka berpendapat bahwa teknologi ini dapat digunakan untuk menggantikan pekerja manusia dan banyak model AI dilatih menggunakan karya seniman tanpa memberikan kompensasi atau kredit yang layak.
Kekhawatiran ini mencakup potensi dampak AI pada ekosistem seni dan budaya, yang bisa mengurangi apresiasi terhadap kreativitas manusia.
Ini bukan kali pertama Coca-Cola menggunakan teknologi AI dalam strategi marketing mereka.
Pada Maret 2023, Coca-Cola berkolaborasi dengan OpenAI untuk meluncurkan salah satu iklan pertama yang dihasilkan oleh AI, berjudul “Masterpiece.”
Iklan ini menampilkan lukisan dan patung di museum seni yang hidup dan saling mengoper botol Coca-Cola, menciptakan narasi kreatif yang menggabungkan seni klasik dan teknologi.
Pada bulan yang sama, Coca-Cola juga mengumumkan partnership dengan para seniman untuk menciptakan karya seni menggunakan arsip kreatif Coca-Cola yang dipadukan dengan teknologi AI.
Perusahaan ini bahkan telah menunjuk seorang kepala global untuk bidang AI generatif, menegaskan komitmennya terhadap integrasi teknologi dalam strategi kreatifnya.
Tren Penggunaan AI dalam Industri Kreatif
Coca-Cola bukan satu-satunya perusahaan yang menghadapi tantangan dalam mengadopsi AI di dunia kreatif.
Penggunaan AI dalam iklan telah menjadi tren yang berkembang, dengan banyak brand mencoba memanfaatkan teknologi ini untuk efisiensi, personalisasi, dan inovasi.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh The Drum, tren ini sering kali menghadapi kritik karena AI cenderung menghasilkan konten yang terasa “aneh” atau tidak autentik.
Artikel dari Wall Street Journal mencatat bahwa AI sering kali menghasilkan visual atau narasi yang kurang relevan dengan target audiens.
Meskipun AI dapat memproses data dalam jumlah besar untuk memahami preferensi konsumen, teknologi ini sering kali kesulitan dalam mengekspresikan emosi kompleks yang penting dalam narasi iklan.
Perdebatan ini menyoroti perlunya keseimbangan antara efisiensi teknologi dan kreativitas manusia dalam iklan.
Ancaman untuk Coca Cola dan Industri Kreatif
Kontroversi ini mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam dunia seni dan teknologi.
Di satu sisi, AI menawarkan cara baru untuk menciptakan karya yang menggabungkan elemen tradisional dan modern.
Di sisi lain, seniman khawatir bahwa teknologi ini dapat mengurangi penghargaan terhadap karya manusia, ĺbahkan memperburuk ketimpangan ekonomi dengan tidak memberikan kompensasi kepada seniman yang karyanya digunakan untuk melatih model AI.
Menurut laporan dari Brookings Institution, pada 2022, sektor kreatif berkontribusi hingga 4,2% terhadap PDB global, dengan seni visual dan desain menjadi komponen utama.
Jika AI semakin banyak digunakan untuk menggantikan kreator manusia, dampaknya terhadap pekerjaan dan ekonomi di sektor ini dapat menjadi signifikan.
Survei dari Pew Research Center juga menunjukkan bahwa 62% profesional kreatif khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka dalam dekade mendatang.
Namun, beberapa pihak melihat kolaborasi antara manusia dan AI sebagai jalan tengah.
Coca-Cola, misalnya, mencoba menekankan pentingnya pencerita manusia dalam setiap proyek yang melibatkan AI, meskipun kritik terus berdatangan.
Penggunaan AI juga memungkinkan perusahaan untuk menciptakan konten dalam skala besar dengan biaya yang lebih efisien, memberikan keuntungan kompetitif di pasar yang semakin kompetitif.
Banyak profesional di industri film dan televisi secara umum tidak terkesan dengan hasil iklan tersebut.
Banyak dari mereka menganggap teknologi ini sebagai upaya yang buruk untuk merendahkan nilai kerja mereka dan berpotensi mengancam keberadaan lapangan pekerjaan di sektor kreatif.
Laporan dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa adopsi teknologi generatif di industri kreatif berpotensi menghilangkan hingga 30% pekerjaan manual di sektor tersebut dalam satu dekade ke depan.
Namun, para pakar mencatat bahwa teknologi ini juga bisa menjadi alat pelengkap jika digunakan dengan bijaksana, membantu pekerja manusia meningkatkan efisiensi tanpa menggantikan kreativitas mereka.
Bagi Coca-Cola, respons mereka terhadap kontroversi ini akan menentukan bagaimana publik memandang komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai tradisional mereka, seperti kehangatan dan nostalgia, yang telah lama menjadi inti dari kampanye liburan mereka.
Artikel dari Marketing Week mencatat bahwa Coca-Cola perlu menunjukkan kepekaan terhadap umpan balik konsumen dan mempertimbangkan pendekatan yang lebih seimbang antara teknologi dan kreativitas manusia.
Dilema Antara Koneksi Emosional dan Teknologi
Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan publik untuk dengan cepat mengungkapkan kritik mereka terhadap langkah kontroversial yang diambil brand.
Dalam kasus Coca-Cola, sentimen negatif ini dapat meluas di kalangan audiens yang merasa bahwa brand tersebut tidak lagi selaras dengan nilai-nilai keadilan sosial, inklusi, dan penghormatan terhadap komunitas yang marginalized.
Dampaknya di era yang semakin peduli terhadap isu sosial bisa sangat signifikan.
Konsumen saat ini, khususnya generasi milenial dan Gen Z, cenderung mendukung brand yang selaras dengan nilai-nilai mereka.
Bahkan, potensi boikot ini bisa meluas ke produk lain di bawah portofolio Coca-Cola, yang akan memperburuk dampak finansial dan reputasi perusahaan.
Coca-Cola berusaha untuk lebih dekat dengan audiens umum melalui strategi yang mencerminkan adaptasi terhadap perubahan tren dan dinamika politik global.
Salah satu upayanya adalah dengan menyatakan dukungan terhadap teknologi AI secara terbuka, yang menunjukkan komitmen perusahaan terhadap inovasi dan efisiensi dalam operasi dan strategi marketing mereka.
Namun, kedua pendekatan ini berisiko jika tidak dieksekusi dengan hati-hati. Secara khusus, dukungan terhadap AI dapat memunculkan kekhawatiran di kalangan pekerja tentang potensi dampaknya. ***