Oleh: Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, Ekonom Senior INDEF
BISNISNEWS.COM – Saya dan juga rekan-rekan saya para ekonom muda di Indef sudah memprediksi tingkat pertumbuhan tahun ini dan prediksi tahun depan akan stagnan 5 persen.
Alasannya selama ini tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Bagikan Dividen Rp249,31 Miliar, Bank DKI Siap Bertransformasi Melalui IPO
Di Tengah Dinamika Perekonomian Global, BRI Berhasil Catatkan Laba Sebesar Rp13,8 Triliun
Kembangkan Produk dan Perluas Skala Usaha, Berkat LinkUMKM BRI Pengusaha Ini Mampu Naik Kelas

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dimana PMI sektor tersebar di dalam kue ekonomi ini terus menurun dan jatuh di bawah 50 persen (Gambar 1).
Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8 persen?
[Gambar 1]
Sektor industri tumbuh rendah, selama ini dalam beberapa tahun hanya sekitar 3-4 persen.
Baca Juga:
Kisah Sukses UMKM ‘Bali Nature’ yang Go Internasional Setelah Mendapat Sentuhan Pemberdayaan BRI

Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Jokowi atau target 8 persen pada pemerintahan Prabowo Subianto.
Jika industri tumbuh rendah seperti ini, maka lupakan target yang tinggi tersebut.
Selama pemerintahan Jokowi sektor ini diabaikan sehingga target pertumbuhan 7 persen sangat meleset.
Sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini sehingga jebakan ini harus diterobos.
Baca Juga:
Serius Pangan Nusantara, UMKM Kopi yang Bertumbuh hingga Go Global Berkat Pemberdayaan BRI
BRI Dorong UMKM Minuman Herbal Semakin Percaya Diri Garap Pasar Luar Negeri

Dengan re-industrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik.
Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara indusgri tidak lain adalah resource-based industry, led-export industry atau outward looking industri.
Strategi industri ini pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7u-8 persen.
Tanpa perubahan strategi seperti ini maka mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen.

Strategi industri bersaing di pasar internasional ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya target pertumbuhan tersebut.
Permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi.
Karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, CIna, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia.
Para duta besar diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.
Diluar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang kita hadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya.
Dari tahun 2010 sampai dengan 2024 rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen.
Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024 (Gambar 2).
Ini merupakan praktek kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik.
Dimana rezim memaksimumkan budget (“teori budget maximazer”) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa cek and balances yang sehat.
Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini.
[Gambar 2]
Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal.
Suku bunga obligasi utang ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Indonesia harus menaikkan tingkat suku bunga yang tidak masuk akal sampai 7,2 persen dengan konsekuensi harus dibayar oleh dan menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar.
Tingkat bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen.
Tingkat suku bunga tinggi ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah diatas seribu triliun rupiah setiap tahun.
[Gambar 3]
Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara.
Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024).
Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo.
Belanja non produktif semakin mendominasi sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja non produktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang.
Tahun 2014, porsi dua belanja tersebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024.
Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar 441 triliun rupiah untuk membayar utang.
Penutup: Demikian Catatan Akhir Tahun saya memang dibuat untuk menjadi masukan kritis terhadap pemerintah.
Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat dengan sasaran target yang tinggi.***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infoekbis.com dan Harianinvestor.com
Jangan lewatkan juga menyimak berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media 062.live dan Apakabarjateng.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional)
Atau hubungi langsung WhatsApp Center Rilispers.com (Pusat Siaran Pers Indonesia /PSPI): 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Klik Persrilis.com untuk menerbitkan press release di portal berita ini, atau pun secara serentak di puluhan, ratusan, bahkan 1.000+ jaringan media online.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.