BISNISNEWS.COM – Jawabannya bisa, asal mau dan tau sedikit apa yang bakal terjadi di depan kalau ngeyel atau ngotot tidak mau menjalankan transisi energi.
Geopolitik internasional telah menggelar egendanya dan tidak seorangpun dapat menarik mundur transisi energy.
Di depan mata masalah yang paling pertama akan datang dari sektor keuangan, tidak ada uang lagi untuk melanjutkan perusahaan produsen energy fosil.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Kembangkan Produk dan Perluas Skala Usaha, Berkat LinkUMKM BRI Pengusaha Ini Mampu Naik Kelas
Kisah Sukses UMKM ‘Bali Nature’ yang Go Internasional Setelah Mendapat Sentuhan Pemberdayaan BRI

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalah kedua akan datang dari pajak. PLN akan bayar pajak 4 kali, mulai dari tambang batubaranya sendiri, pajak pembangkit batubara milik sendiri, beli listrik kotor dari pembangkit IPP batubara, dan jual listrik dari pembangkit batubara ke konsumen.
Semua harus bayar denda pajak karbon yang sangat mahal. Masalah ketiga datang dari konsumen dunia yang menolak energy kotor.
Bukankah gampang bagi PLN menyelesaikan agenda transisi energinya.
Baca Juga:
Serius Pangan Nusantara, UMKM Kopi yang Bertumbuh hingga Go Global Berkat Pemberdayaan BRI
BRI Dorong UMKM Minuman Herbal Semakin Percaya Diri Garap Pasar Luar Negeri
Apa itu, yakni memastikan semua pembangkit mengunakan energi baru terbaharukan, untuk semua pembangkit PLN.
Mari kita lihat caranya. Secara nasional sekarang Indonesia mengakumulasi 12% pembangkit terbaharukan dari kapasitas terpasang 72 gigawatt.
Jadi Indonesia memiliki pembangkit terbaharukan sebanyak 9 Gigawatt. Ini angka yang cukup significant.
PLN membutuhkan 19 gigawatt lagi untu mencapai 50 persen energi terbaharukan. Mengapa karena beban puncak nasional sebanyak 38 gigawatt.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Bangga Melihat Lahan Rawa Jadi Sawah Produktif di Sumsel, Didampingi Mentan Amran
Kebutuhan ini tidaklah besar, bisa dicapai dalam tempo singkat. Bisa berasal dari PLTA, PLTSA, dan pembangkit Surya. Jika mau bekerja ke arah ini dengan benar.
Jika swasta atau IPP dituntut untuk berkontribusi 50 persen energi terbaharukan maka PLN hanya membutuhkan sedikit langkah lagi.
Kalau PLTA di oprimalkan, dengan memulihkan semua bendungan yang ada PLTAnya. Maka energi terharukan bisa lebih cepat lagi.
Sekarang PLN membuang percuma listrik sekitar 34 Gigawat akibat over supply.
Padahal itu semua dihasilkan dengan mengorbankan uang dan sumber daya. Ini adalah pemborosan yang amat sangat buruk.
Batubara dan minyak dibakar di pembangkit pembangkit lalu energinya dibuang percuma karena tidak terjual. Mengerikan sekali!*
Lamgkah efektif yang dapat ditempuh PLN tentu saja harus didukung oleh regulasi.
Yakni menghentikan pembelian listrik dari pembangkit batubara yang merupakan kontributor utama over supply listrik nasional.
Memprioritaskan pembelian listrik dari pembangkit ramah lingkungan yang diberikan kemudahan oleh peraturan.
Langkah ini pasti akan didukung pihak global, lembaga pembiayaan, green fund, perbankan yang tengah kehausan untuk membiayai energi baru terbaharukan.
PLN tinggal sampaikan ke Presiden Jokowi bahwa sangat buruk jika PLN tetap dipaksa membeli energi kotor dari pembangkit batubara lalu energi tersebut dibuang percuma.
Membeli listrik kotor untuk dibuang adalah tindakan yang sangat kotor.. Ini tidak boleh dilanjutkan!
Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Bisnisnews.com, semoga bermanfaat.